TOKOH-TOKOH PEMBAHARUAN
DAN MODERNISASI DUNIA ISLAM
·
Muhammad
Ali Pasya
Muhammad
Ali Pasha adalah seorang keturunan Turki yang lahir pada bulan Januari 1765 M
di Kawalla, sebuah kota yang terletak di bagian utara Yunani, dan meninggal di Mesir
pada tahun 1849. Negeri ini telah menjadi bagian kekuasaan Turki Utsmani yang berpusat
di Istanbul sejak ditaklukkan oleh Sultan Muhammad II al-Fatih (855/886 H -
1451/1481 M) pada tahun 857 H/1453 M, dan baru dapat melepaskan diri dari kekuasaan
Istanbul pada tahun 1245/1829 M. Ayah Muhammad Ali Pasha bernama Ibrahim Agha,
seorang imigran Turki, kelahiran Yunani. Ia mempunyai 17 orang putera dan salah
seorang diantaranya bernama Muhammad Ali Pasha.
Muhammad Ali Pasha adalah seorang pembaharu Islam
pada abad 19 hingga abad 20 M. Ia adalah orang yang pertama kali meletakkan
landasan kebangkitan modern di Mesir, setelah munculnya kesadaran umat Islam di
Mesir akan kelemahan mereka dalam mengahadapi ekspedisi Perancis oleh Napoleon
Bonaparte (1769-1821 M). Selain itu, kontak kebudayaan Barat terhadap umat
Islam ketika itu sangat tinggi, ditambah lagi dengan hancurnya kekuatan Mesir
oleh Napoleon Bonaparte. Alasan ini kemudian dijadikan tolak ukur bagi para
pemuka Islam Mesir untuk melakukan pembaharuan terhadap kondisi umat Islam
ketika itu.
Muhammad Ali Pasha mulai melakukan upayaupaya
pembaharuan terhadap Mesir pada tahun 1765-1848 M. Ketika Muhammad Ali Pasha
masuk dalam dinas militer, ia juga menunjukkan kecakapan dan kesanggupannya sehingga
pangkatnya cepat naik menjadi perwira. Ketika pergi ke Mesir ia telah berhasil menduduki
jabatan wakil perwira dan memimpin pasukan yang dikirim dari daerahnya. Ia
adalah seorang perwira yang berhasil merebut kekuasaan di Mesir setelah tentara
Perancis kembali ke Eropa tahun 1801 M. Muhammad Ali Pasha kemudian menjadi penguasa
penuh Mesir. Ia menjadi wakil resmi sultan (Kerajaan Utsmani) di Mesir. Untuk memajukan
Mesir, Muhammad Ali Pasha melakukan pembenahan ekonomi dan militer. Atas saran
para penasihatnya, ia juga melakukan program pengiriman tentara untuk belajar
di Eropa. Pemerintahan Muhammad Ali Pasha (1804-1849 M) membedakan pembaharuan
yang ada antara struktur politik dan keagamaan di Mesir.
Sejak Muhammad Ali Pasha menguasai Mesir, ia telah
banyak melakukan upaya pembaharuan, baik dalam bidang politik, militer,
ekonomi, pemerintahan maupun pendidikan. Proses pembaharuan ini dipengaruhi
oleh proses transformasi dan majunya ilmu pengetahuan serta teknologi, baik
dalam kehidupan sosial maupun perkembangan intelektual yang lahir dari sebuah
paradigma baru. Dengan kata lain, pembaharuan merupakan sebuah gerakan yang
bertujuan untuk mengubah kondisi ke arah yang lebih baik, yang ditimbulkan dari
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Jatuhnya Mesir ke tangan Napoleon
Bonaparte telah menyadarkan pemikiran Muhammad Ali Pasha. Ia banyak melihat
kemajuan yang dicapai negara-negara Barat, terutama Perancis yang begitu hebat.
Kemajuan dalam teknologi militer telah membuat Perancis dapat dengan mudah
menguasai Mesir (1798-1802 M). Lahirnya keinginan Muhammad Ali Pasha untuk
memajukan peradaban modern termotivasi dari unsur-unsur dan hal-hal baru yang
dibawa oleh Napoleon Bonaparte, ketika ia memimpin ekspedisi di daerah-daerah
kekuasaan pemerintahan yang dibangun oleh umat Islam. Menurut Muhammad Ali
Pasha, kunci utama untuk menciptakan langgengnya kekuasaan adalah mengubah
sistem militer. Kemudian Muhammad Ali Pasha mengundang seorang Kolonel Perancis
bernama Seve, yang memeluk agama Islam dan mengganti namanya menjadi Sulaiman
Pasha. Ia ditugaskan untuk melatih dan memodernisasikan angkatan bersenjata di
Mesir. Untuk mendukung kekuatan militer dibutuhkan dana yang sangat banyak
terutama untuk keperluan bala tentara, dan semua itu harus ditunjang dengan sistem
ekonomi yang baik. Maka kemudian ia pun terdorong untuk mempelajari ilmu ekonomi
yang telah berkembang di Eropa. Tidak hanya militer dan perekonomian yang
diperhatikan oleh Muhammad Ali Pasha, tetapi ia juga mengupayakan pengetahuan
mengenai administrasi negara. Ini ditunjukannya dengan mendirikan beberapa
lembaga yang terkait dengan sekolah sekolah modern, seperti:
1. Kementerian
Pendidikan pada tahun 1815 M, yang sebelumnya tidak dikenal.
2. Sekolah Militer (1815 M), pembentukan sekolah
ini untuk memperkuat kekuasaannya di Mesir.
3. Sekolah
Teknik (1816 M), didirikan agar rakyat Mesir dapat memproduksi persenjataan dan
memiliki keahlian dalam berperang.
4. Sekolah
Kedokteran (1827 M).
5. Sekolah
Apoteker (1829 M).
6. Sekolah
Pertambangan (1834 M).
7. Sekolah
Pertanian (1836 M).
8. Sekolah
Penerjemahan (1836 M).
Berbagai lembaga itu didirikan untuk memajukan
rakyat Mesir. Adapun untuk tenaga pengajarnya Muhammad Ali Pasha mengambil Guru
dari Eropa terutama Perancis, Inggris dan Italia. Sedangkan untuk mengetahui
ilmu pengetahuan Barat, Muhammad Ali Pasha mengirimkan beberapa pelajar ke luar
negeri. Begitu pula dengan para cerdik pandai yang dipimpin oleh Rifa’ah At-
Tahtawi. Berbagai ilmu pengetahuan dipelajari mereka, seperti ilmu politik,
filsafat dan beberapa ilmu sosial lainnya. Walaupun pada awal kekuasaannya,
Muhammad Ali Pasha tidak memperbolehkan mempelajari ilmu politik karena
dianggap dapat membahayakan kekuasaannya. Selain itu, ia juga mengadakan
pembaharuan dalam bidang administrasi dan birokrasi yang dianggap sangat
penting pengaruhnya bagi masyarakat Mesir, karena masyarakat perlu dikelompokkan
dalam suatu pola budaya, tipe, dan organisasi. Sedang dalam bidang pertanian,
Muhammad Ali Pasha menyuplai para petani dengan bibit bibit pertanian,
alat-alat pertanian dan pupuk untuk dikembangkan oleh para petani. Hasil
pertanian kemudian diperdagangkan dengan keuntungan yang banyak. Adapun berbagai
pabrik yang berhasil didirikan antara lain pabrik besi, pabrik gula, pabrik kertas,
pabrik sabun dan pabrik kaca. Dengan beberapa pembaharuan yang dilaksanakan oleh
Muhammad Ali Pasha, Mesir telah banyak mengalami kemajuan di berbagai bidang. Meskipun
mungkin usahanya itu belum mampu menandingi kejayaan bangsa Eropa dikala itu,
namun setidaknya ia telah menunjukkan prestasi yang gemilang terhadap pembaharuan
di Mesir.
·
Muhammad
Abduh
Muhammad Abduh lahir di Delta Nil yang sekarang masuk
dalam wilayah Mesir sejak tahun 1849. Ayahnya bernama Abduh Hasan Khairullah,
seorang imigran yang berasal dari Turki dan telah lama menetap di Mesir. Adapun
sang ibu berkebangsaan Arab yang memiliki garis keturunan dari Khalifah Umar
Ibn Khatab. Kedua orang tua Abduh tinggal di desa Mahallah Nashr setelah
berpindah-pindah ke banyak tempat. Abduh kecil hingga remaja banyak menekuni
pelajaran membaca dan menulis, dan pada usia 12 tahun ia sudah mampu menghafal
al-Qur’an dalam bimbingan langsung sang ayah. Pemikiran-pemikiran cemerlangnya
mulai muncul ketika ia dikirim belajar secara formal oleh ayahnya ke Perguruan
di Masjid Ahmadi untuk mempelajari Bahasa Arab, Nahwu, Shorof, dan lain-lain,
yang terletak di desa Thanta, salah satu desa di Mesir. Namun, ia merasa bahwa
apa yang dipelajarinya sangat monoton dan ia tidak mengerti apa maksud dari
ilmu yang ia dapatkan, karena ia hanya menghafal pelajaran-pelajaran itu tanpa
tahu apa substansinya.
Ia tidak puas dengan metode belajar yang ada, yang hanya
mementingkan hafalan tanpa memahami pengertian dari yang dipelajarinya itu. Bahkan
ia berpikir lebih baik tidak belajar dari pada menghabiskan waktu hanya untuk menghafal
istilah-istilah nahwu dan fikih yang tidak dipahaminya, sehingga ia kembali ke
Mahallah Nashr (kampungnya) dan hidup sebagai petani serta melangsungkan pernikahan
dalam usia 16 tahun. Sang ayah tidak menyetujui langkah yang diambil oleh
Abduh, ia memerintahkan Abduh untuk kembali ke Thanta dan menekuni kembali pelajarannya.
Dengan terpaksa ia pun kembali ke Thanta. Namun, di tengah perjalanan ia
membelokkan langkah kakinya menuju sebuah desa tempat tinggal pamannya, yaitu Syaikh
Darwsy Khadir (paman dari ayah Muhammad Abduh) di Kanisah Urin. Syaikh Darwisy
adalah seorang penganut aliran tasawuf Thariqah Syadziliyah dan memiliki pengetahuan
yang luas. Syaikh Darwsy mengetahui sebab-sebab keengganan Abduh untuk belajar
di Thanta, maka ia selalu mengajak Muhammad Abduh supaya membaca buku
bersamanya. Kisah perjalanan hidup Muhammad Abduh diabadikan dalam buku yang
berjudul “Muzakirat al-Imam Muhammad Abduh” karya muridnya, Muhammad Rasyid
Ridla. Dalam buku tersebut dijelaskan bahwa pada saat itu ia benci melihat
buku, dan buku yang diberikan Darwsy itu dibuangnya jauh-jauh. Lalu buku
tersebut dipungut lagi oleh Darwsy dan diberikan lagi pada Abduh. Darwsy selalu
sabar menghadapi Abduh, dan pada akhirnya Abduh mau juga membaca buku tersebut beberapa
baris. Setiap barisnya Darwisy memberikan penjelasan yang luas tentang arti dan
maksud yang terkandung dalam kalimat tersebut. Akhinya Muhammad Abduh berubah
sikapnya terhadap buku dan ilmu pengetahuan. Dia mulai paham dengan apa yang
dibacanya, kemudian ia kembali ke Thanta pada bulan Oktober 1865 M/1286. Muhammad
Abduh lalu melanjutkan pendidikan di Thanta, akan tetapi hanya 6 bulan lalu
pergi menuju al-Azhar yang diyakininya sebagai tempat mencari ilmu yang sesuai untuknya.
Di al-Azhar, ia pun hanya mendapatkan pelajaran ilmu-ilmu agama dengan metode
yang sama dengan di Thanta. Hal ini membuatnya kembali kecewa. Dalam salah satu
tulisannya ia menyatakan rasa kecewanya tersebut dengan menyatakan bahwa metode
pengajaran yang verbalis itu telah merusak akal dan daya nalarnya. Rasa kecewa
itulah yang menyebabkan Abduh akhirnya menekuni dunia sufistik. Pada tahun 1871
Abduh bertemu dengan Jamaludin al-Afghany yang datang ke Mesir pada tahun itu.
Dari al-Afghany, ia mendapatkan pengetahuan filsafat, ilmu kalam dan ilmu pasti
(eksak). Meskipun sebelumnya ia telah mendapatkan ilmu-ilmu tersebut di luar
al-Azhar, namun metode yang dipakai oleh al-Afghany adalah metode yang telah lama
dicarinya selama ini, sehingga ia lebih puas menerima ilmu-ilmu itu dari guru barunya
tersebut.
Abduh mengungkapkan bahwa al-Afghany telah melepaskannya
dari kegoncangan jiwa yang dialaminya. Al-Afghany adalah seorang pemikir modern
yang masih memiliki garis keturunan dari Hasan bin Ali bin Abi Thalib. Ia
adalah seorang ulama yang sangat cerdas dalam memecahkan persoalan–persoalan
rumit yang dihadapkan kepadanya, seperti solusi yang ia berikan pada saat Mesir
mengalami krisism keuangan akibat menumpuknya hutang negara pada kurun waktu
tahun 1871 sampai 1879. Metode pengajaran yang digunakan oleh al-Afghany adalah
metode praktis yang mengutamakan pemberian pengertian dengan cara berdiskusi.
Selain pengetahuan teoritis, al-Afghany juga mengajarkan pengetahuan praktis,
seperti berpidato, menulis artikel, dan sebagainya. Sehingga membawanya dapat
tampil di depan publik. Ia mengajar manthiq (logika), tasawuf, fisafat, ilmu
pasti dan lain-lain di rumahnya. Ia mememiliki pemikiran dan semangat tinggi
untuk memutus mata rantai kejumudan berfikir dan cara-cara berfikir yang
fanatik. Akhirnya Muhammad Abduh menjadi pelopor penyebaran pemikiran
Jamaluddin al-Afghany di kampus al-Azhar hingga berkembang luas ke seluruh Mesir
bahkan dunia.
Setelah Abduh menyelesaikan studinya di al-Azhar
pada tahun 1877, atas usaha Perdana Menteri Mesir, Riadl Pasya, ia diangkat
menjadi dosen pada Universitas Darul Ulum, Universitas al-Azhar, dan perguruan
bahasa Khadevi. Ia mengajarkan berbagai mata pelajaran seperti teologi,
sejarah, ilmu politik dan kesusastraan Arab. Pada tahun 1877-1882, ia
diasingkan ke Beirut karena terlibat gerakan politik, ia dituduh bersekongkol
untuk menggulingkan Khadevi Tawfik. Di pengasingan ini ia bekerja sebagai guru
sekaligus penulis. Kegiatan pembelajaran dilanjutkannya lagi di Beirut. Ia
menterjemah kitab-kitab ke dalam bahasa Arab. Di Beirut pula ia menyelesaikan penulisan
bukunya yang termasyur Risalah al-Tawhid yang mulai ditulisnya semasa mengajar
di Madrasah Sulthaniyah, di samping beberapa buku terjemahan yang lain. Untuk
kepentingan gerakan, Syaikh Muhammad Abduh telah menulis beberapa buku, antara
lain al-Islam wa Nashraniyah ma’al Ilmi wal Madaniyah. Tahun 1888 ia kembali ke
Mesir setelah selesai masa pengasingannya. Ia diperbolehkan kembali ke kota
Kairo dan diberi kepercayaan memimpin surat kabar al-Waqa’i alMishriyah. Pada
tahun 1882 bersama Urabi Pasya, Abduh ikut bergabung dalam gerakanpolitik
menentang ketidakadilan negara. Ia kemudian diasingkan lagi ke Beirut dan Perancis.
Di Perancis ia bertemu kembali dengan Jamaluddin al-Afghani dan kemudian menerbitkan
majalah al-Urwatul Wutsqa. Lalu ia kembali lagi ke Mesir.
Namun karena pemerintah merasa khawatir akan
pengaruh Abduh yang semakin diterima masyarakat luas, akhirnya Abduh tidak
diperbolehkan mengajar oleh pemerintah Mesir. Ia kemudian bekerja sebagai hakim
agama (mufti) dan menjadi anggota majelis al-A’la al-Azhar yang berhasil
membawa perubahan-perubahan di lembaga pendidikan tertua tersebut. Ia diangkat
menjadi mufti sejak tahun 1899. Pembaharuan kedua yang dilakukannya adalah ketika
ia menjabat sebagai mufti di tahun 1899 menggantikan Syaikh Hasanuddin al-Nadawi.
Usaha pertama yang dilakukannya adalahmemperbaiki pandangan masyarakat bahkan
pandangan para mufti sendiri tentang kedudukan mereka sebagai hakim. Para mufti
sebelumnya berpandangan, bahwa mufti betugas sebagai penasehat hukum bagi
kepentingan negara. Diluar itu seakan mereka melepaskan diri dari masyarakat
umum yang mencari kepastian hukum. Namun bagi Abduh, seorang mufti bukan hanya
bekerja pada negara, tetapi juga pada masyarakat luas.
Dengan demikian kehadiran Muhammad Abduh tidak hanya
dibutuhkan oleh negara tapi juga oleh masyarakat luas. Langkah pembaharuan
ketiga yang dilakukannya adalah dengan mendirikan organisasi sosial yang
bernama al-Jami’at al-Khairiyyah al-Islamiyyah pada tahun 1892. Organisasi ini
bertujuan menyantuni fakir miskin dan anak-anak dari keluarga yang tidak mampu.
Selain itu, lembaga wakaf juga merupakan salah satu institusi yang tidak luput
dari perhatiannya, sehingga ia membentuk majelis administrasi wakaf dan berhasil
memperbaiki perangkat masjid. Namun demikian, tidak semua ide dan pemikiran
pembaharuan yang dilakukannya dapat diterima oleh penguasa dan pihak al-Azhar.
Penghalang utama yang dihadapinya adalah para ulama yang berpikiran statis
beserta masyarakat awam. Ketika menghadapi banyak rintangan tersebut Abduh
jatuh sakit dan meninggal pada 8 Jumadil Awal 1323 H/ 11 Juli 1905. Jenazah
Muhammad Abduh dikebumikan di pemakaman negara di Kairo. Dari uraian-uraian
diatas dapat disimpulkan bahwa faktor yang mempengaruhi pemikiran Muhammad
Abduh adalah:
·
Faktor sosial, berupa
sikap hidup yang dibentuk oleh keluarga dan gurunya, terutama Syaikh Darwisy
dan Sayyid Jamaludin al-Afghani. Di samping itu, faktor lingkungan dan sistem
pendidikan di Thanta dan Mesir yang tidak efektif, serta sikap keagamaan yang
statis dan adanya fikiran-fikiran yang jumud yang ia temukan di masyarakat.
·
Faktor kebudayaan,
berupa ilmu yang diperolehnya selama belajar di sekolahsekolah formal sekaligus
pengaruh langsung pemikiran Jamaludin al-Afghani, serta pengalaman yang
ditimbanya dari Barat ketika ia diasingkan ke Perancis.
·
Faktor politik yang
bersumber dari situasi politik di masanya sejak ia masih tinggal di lingkungan
keluarganya di Muhallaf Nashr, sampai ketika ia kuliah hingga ia wafat. Ketiga
faktor di atas merupakan hal-hal yang melatarbelakangi lahirnya pemikiran Muhammad
Abduh dalam berbagai bidang, baik teologi, syari’ah, pendidikan, sosial, politik,
hingga kebudayaan. Pemikirannya yang paling menonjol adalah terkait bidang teologi
yang difokuskan pada aspek perbuatan manusia (af’al dan ‘ibad), konsep qadha dan
qadar serta sifat-sifat Tuhan.
Gerakan pembaharuan Islam yang
dilakukan Muhammad Abduh tidak terlepas dari karakter dan watak yang terbentuk
sejak ia kecil, yaitu cinta pada ilmu pengetahuan.
Abduh memiliki 3 (tiga) agenda pembaharuan, yaitu:
1. Purifikasi
Purifikasi atau
pemurnian ajaran Islam merupakan fokus perhatian serius Muhammad Abduh
berkaitan dengan munculnya bid`ah dan khurafat yang masuk dalam kehidupan
beragama kaum muslim. Dalam pandangan Muhammad Abduh, seorang muslim wajib menghindarkan
diri dari perbuatan-perbuatan syirik dalam bentuk apapun.
2. Reformasi
Pendidikan Islam
Reformasi
pendidikan Islam difokuskan Muhammad Abduh pada universitas Al-Azhar tempat ia
menimba ilmu. Muhammad Abduh menyatakan bahwa kewajiban belajar tidak hanya
mempelajari buku-buku klasik berbahasa Arab yang berisi doktrindoktrin ajaran
Islam. Akan tetapi, kewajiban belajar juga terletak pada mempelajari ilmu
pengetahuan modern, serta sejarah dan agama Eropa, agar diketahui sebab-sebab
kemajuan yang telah mereka capai. Selain itu, dalam bidang pendidikan nonformal
Muhammad Abduh juga menyebutkan pentingnya upaya perbaikan (ishlah).
Dalam
hal ini Abduh melihat perlunya campur tangan pemerintah terutama dalam hal
mempersiapkan para pendakwah. Tugas mereka yang utama adalah:
·
Menyampaikan kewajiban
dan pentingnya belajar.
·
Mendidik mereka dengan
memberikan pelajaran tentang apa yang mereka lupakan atau yang belum mereka
ketahui.
·
Memberikan semangat ke
dalam jiwa para pendakwah untuk cinta pada negara, tanah air, dan pemimpin.
3. Pembelaan
atas Islam
Karya Risalah al-Tauhid
yang ditulis oleh Abduh dimaksudkan untuk mempertahankan jati diri Islam.
Hasratnya untuk menghilangkan unsur-unsur asing dalam paham keislaman merupakan
bukti bahwa ia tetap yakin dengan kemandirian Islam. Muhammad Abduh tidak
pernah menaruh perhatian terhadap paham-paham filsafat anti-agama yang saat itu
marak di Eropa. Dia lebih tertarik memperhatikan serangan-serangan terhadap
agama Islam dari sudut keilmuan. Ia yakin bahwa Islam dan ilmu pengetahuan
tidak mungkin bertentangan, tetapi antara ilmu dan agama bekerja pada tingkat
yang berbeda. Muhammad Abduh berusaha mempertahankan jati diri Islam dengan
menegaskan bahwa jika pikiran dimanfaatkan sebagaimana mestinya, maka hasil
yang dicapainya otomatis akan selaras dengan kebenaran ilahi yang dipelajari
melalui agama. Oleh karena itu ia sangat menjunjung tinggi ijtihad. Karena
ijtihad membuktikan bahwa Islam tidak diturunkan untuk mendukung kejumudan,
akan tetapi Islam diturunkan bergerak dinamis seiring perkembangan manusia dan
problem-problem kemanusiaan.