TEORI kedua yang menjelaskan masuknya Islam Indonesia ialah teori Gujarat. Teori ini menyatakan bahwa Islam masuk di Indonesia bukan berasal dari Arab atau Mesir-Afrika tetapi berasal dari Gujarat, India sekitar abad ke-13 M, dibawa oleh orang-arang yang menjalin kontak dagang antara kedua belah negeri. Boleh jadi melalui orang-orang Gujarat yang membawa barang-barang dagangan ke anak-anak Nusantara, tetapi boleh jadi anak-anak Nusantara yang membawa hasil-hasil pertanian dan rempah-rempah ke sana ikut serta mendalami ajaran Islam, lalu membawa pulang ke negerinya, atau kedua belah pihak sama-sama aktif mengembangkan ajaran agama baru ini di Indonesia.
Teori ini didukung oleh Snouck Hurgronje dan J. Pijnapel, dua ilmuan Belanda yang ahli tentang sejarah Timur Hindia. Teori ini juga didukung oleh sejumlah ilmuan Eropa dan Amerika lainnya, sehingga dalam buku-buku sejarah yang ditulis para orientalis, hampir sepakat mengatakan Islam baru tiba di negeri ini abad ke-13. Meskipun para penulis sejarah lokal seperti Prof. Dr. Hamka, berusaha membantah teori ini dengan mengatakan Islam masuk di Indonesia semenjak abad pertama atau kedua Hijriyah atau sekitar abad ke-7 Masehi, tetapi tidak cukup didengar karena kurangnya bukti sejarah secara formal yang bisa mendukungnya.
Teori kedua ini mengemukakan beberapa bukti, di antaranya ditemukannya batu nisan Sultan Samudera Pasai Malik al-Saleh tahun 1297. Tanda-tanda fisik batu nisan ini dihubungkan dengan corak khas batu nisan pekuburan Islam Gujarat-India. Jika saja nanti pada satu saat ada batu nisan lain lebih tua, maka teori ini bisa saja berubah. Sejumlah wilayah di kepulauan Indonesia mengklaim sudah menemukan bukti-bukti dan jejak-jejak penganut agama Islam di wilayahnya lebih awal dari teori Gujarat ini, tetapi belum diverifikasi lebih jelas akan bukti-bukti tersebut. Misalnya saja klaim Buton dan Fakfak, Papua Barat, tetapi sekali lagi belum bisa dibuktikan secara empiris klaim itu.
Bukti lain yang dikemukakan sejalan dengan teori ini ialah corak Islam tasawuf yang berkembang di masa awal abad ini, sama dengan Islam yang berkembang di anak benua India, yaitu Islam yang bercorak sufistik. Pekembangan Islam yang bercorak sufistik memang dominan di abad ke-13 karena abad ini dapat dikatakan abad kemunduran dunia Islam setelah sebelumnya mencapai kejayaan dengan predikat The Golden Age of Islamic Period. Sebelumnya, dunia Islam berhasil mencengangkan dunia dengan lahirnya tokoh-tokoh ilmuan yang luar biasa. Ada sekitar 27 orang ilmuan tersohor lahir di periode The Golden Age itu, antara lain Jabir ibn Hayyan yang dikenal sebagai The Father of Chemistry, Al-Khawarismi (The Father of The Math), Ibn Haitham (The Father of Modern Optics), Al-Farabi dan Ibn Sina (Neo Platonism), Al-Fazari (The Father of Modern Astrolabe), Al-Razi (The Father of Modern Huspital), Al-Biruni pernah mendapatkan gelar di Barat dengan Word's First Great Experimenter, dan ilmuan tersohor lainnya seperti Ibn Rusyd, dan sejumlah ilmua lainnya.
Islam yang masuk di Indonesia menurut para orientalis, ialah Islam yang sudah mundur kualitasnya karena serbuan pasukan Mongol yang menaklukkan pusat-pusat kerajaan Islam. Akhirnya dunia Islam berusaha menyembunyikan diri atau memberikan pembenaran diri dengan mengedepankan ilmu-ilmu tasawuf, seperti yang dikembangkan di India. Islam seperti inilah yang masuk ke Indonesia dalam abad ke-13. Teori ini dikritik sejumlah ilmuan dengan alasan Islam di Gujarat saat itu didominasi oleh Mazhab Hanafi sementara yang berkembang di Indonesia Mazhab Syafi’. Bahkan Gujarat pada saat itu masih dikuasai oleh kerajaan Hindu.
No comments:
Post a Comment