Dia
Sahabatku
Pada
suatu hari hiduplah dua orang sahabat mereka bernama shelly dan yenni. Mereka
bersahabat selama 3 tahun lamanya. Shelly dan yenni saling menyayangi bahkan
banyak orang-orang yang menyangka bahwa mereka saudara kandung. Setiap pagi sebelum
berangkat kesekolah shelly selalu pergi kerumah Yenni untuk bersama berangkat
ke sekolah.
Pada
siang harinya sesuai dengan rencana yang mereka telah sepakati sebelumnya,
merka akan pergi ke swalayan yang tidak berada jauh dari sekolah mereka. Mereka
pergi ke swalayan untuk membeli sebuah kado dan kue yang akan mereka
belikan untuk nenek shelly. Nenek Shelly adalah orang yang baik. Ia selalu baik
dan ramah kepada Yenni walaupun Yenni bukan cucu dari sang Nenek. Bukan hanya
itu Nenek shelly juga terkadang memberikan nasihat dan uang saku
Cuma-Cuma kepada mereka.
Waktu
sudah menunjukkan pukul 3 sore tetapi belum juga ada kabar yang pasti dari
Yenni. Sembari menunggu kedatangan Yenni , Shelly membaca novel yang sebelumnya
di beli di Toko Buku langganan mereka bersama Yenni. Membaca novel adalah hobi
yang dimiliki shelly, berbeda dengan Yenni yang lebih memilih untuk bermain
basket. Meskipun hobi mreka yang berbeda tetapi mereka tetap dapat
bersama. Bila ada latihan basket di sekolah maka shelly selalu setia menunggu
Yenni sembari mengerjakan tugas atau sekedar untuk melanjutkan membaca novel.
“Aduh
Yenni kemana ya?, Tanya shelly dalam hati” Shelly yang merasa panik terhadap
Yenni karena sudah 3 jam setelah dirinya menunggu tidak ada kabar yang pasti
dari Yenni. “ Shelly “ Teriak seorang remaja yang berada tidak jauh
dari keberadaannya. “ maaf, tadi aku harus membersihkan lapangan sebelum
pulang, karena aku lupa mengerjakan tugas Matematika “ Jawab Yenni. Dengan
wajah kesal sekaligus kasihan setelah mendengarkan alasan yang diberikan Yenni
akhirnya Shelly memutuskan untuk pergi ke Swalayan. “ kan aku udah pernah
bilang, kalo ada tugas itu langsung dikerjain malemnya “ Shelly member nasihat
kepada Yenni dengan sedikit marah.
Setelah
sampai di tempat yang mereka tuju yaitu swalayan, mereka langsung segera
membeli kue dan memilih kira-kira kado yang mana yang pantas untuk Nenek
Shelly. Shelly dan Yenni memutuskan untuk membeli baju sebagai hadiah yang akan
mereka belikan kepada Nenek. Baju berwarna kuning yang cocok dengan kuli Nenek
yang berwarna cukup cerah membuat mereka merasa itulah hadiah yang pas dan
cocok untuk mereka berikan kepada Nenek. Bagi Yenni, Nenek Shelly adalah
neneknya juga karena, Nenek Shelly juga selalu menyamakan kasih sayang yang ia
berikan kepada Shelly dan Yenni. Maka dari itu, Yenni selalu menyayangi semua
keluarga Shelly. Bagi Yenni mengeluarkan uang itu tak masalah asalkan Nenek
atau keluarga Shelly yang lain bahagia. Setelah selesai membelanjakan kebutuhan
apa saja yang mereka inginkan, mereka memutuskan untuk pulang karena mereka
sudah ditunggu di Rumah Nenek oleh keluarga Shelly. Maka dari itu, mereka
memutuskan untuk cepat-cepat pulang.
Sesampainya
di Rumah, mereka segera disambut oleh keluarga Shelly. Keluarga Shelly sudah
mengganggap Yenni sebagai keluarga. Kebersamaan yang tidak bisa di dapatkan di
dalam keluarga Yenni dapat Ia dapatkan di saat bersama dengan keluarga Shelly.
Selain itu baik keluarga Shelly juga selalu memperhatikan Yenni.
Yenni
hanya tinggal berdua dengan ayahnya selain itu, ayah Yenni sering
pergi meninggalkan Yenni untuk mencari uang berdagang di luar kota. Dengan kata
lain, Yenni selalu merasa kesepian bahkan kadang enggan untuk pulang
kerumah. Ibu Yenni telah lama bercerai dengan Ayahnya kurang lebih semenjak
Yenni berumur 11 tahun. Semenjak Ayah dan Ibunya bercerai Yenni tidak pernah
bertemu Ibunya. Ia tidak pernah merasakan perhatian dari seorang Ibu semenjak
kedua orang tuanya telah resmi bercerai. Oleh karena hal itu, Shelly selalu
berada di dekat Yenni karena ia tidak ingin sahabatnya merasa kesepian karena
baginya persahabatan itu bukan hanya dapat dikatakan dimulut saja tetapi
dibuktikan dengan nyata.
KETIKA SEBUAH MIMPI DIPAHAMI
Tidak
kusangka, siang yang tadinya ingin kujadikan waktu bersantai untuk melepas
lelah. Setelah seharian berolahraga seperti minggu biasanya, malah berubah
menjadi momen paling mengasyikan daripada hanya sekedar melepas rasa letih di
tubuhku hari ini.Pukul 13:00 tengah hari tadi, sewaktu mataku yang terjaga ini
mulai kehilangan arah dalam persiagaannya di tempat tidurku, kemudian ia (baca:
mata) menutup dirinya dan membawaku ke alam lain. Dalam khayalnya aku hanya
mengikuti kemana alam bawah sadar mengalir, karena aku berharap bisa bermimpi
indah.
Di
suatu tempat yang belum jelas asal usulnya, cahaya matahari menyilaukan mataku
yang masih berkedip-kedip mulai memperhatikan keadaan di sekitarnya. Terlihat
bangunan batu bata besar memanjang ke arah pegunungan tinggi berkebut ini
seperti sebuah benteng raksasa tak berujung. Dengan lebar sisinya sekitar 10
meter. Aku berada di atasnya dan mulai tahu dimana aku berdiri. Betul sekali,
TEMBOK BESAR CINA biasa orang-orang menyebutnya.
“Senangnya bisa berada di tempat indah dan bersejarah seperti ini.” ujarku dalam hati.
Menikmati indahnya monumen paling terkenal, yang bahkan masuk dalam kategori 7 Keajaiban Dunia, membuatku LUPA bahwa dunia yang kutempati saat ini hanya sebuah fantasi belaka.
“Andai aku membawa sebuah kamera, pasti sudah ku jepret setiap sudut yang kulihat ini.” pikirku.Sejuknya angin membuatku penasaran untuk melihat setiap sudut di tembok ini. Ketika hendak melihat bagian bawah tembok dari atas, tiba-tiba terdengar suara. Gedebuk gedebuk… Bunyi mulai terngiang di telingaku, disaat indra penghlihatan mengarah ke kanan jalur perjalanan tembok. Aku melihat dari jarak ku berdiri sekitar 200 meter disana segerombolan singa besar berlari ke arahku.Perasaanku yang saat itu bingung bercampur kesal, langsung berlari dengan kencang lurus ke dapan. Betapa tidak, jika aku melompat ke sisi luar pun, mungkin nyawaku juga akan hilang karena tingginya benteng ini setara sebuah bukit dan lebih parahnya lagi di belakangku singa-singa ganas mulai menyerbuku.
“Senangnya bisa berada di tempat indah dan bersejarah seperti ini.” ujarku dalam hati.
Menikmati indahnya monumen paling terkenal, yang bahkan masuk dalam kategori 7 Keajaiban Dunia, membuatku LUPA bahwa dunia yang kutempati saat ini hanya sebuah fantasi belaka.
“Andai aku membawa sebuah kamera, pasti sudah ku jepret setiap sudut yang kulihat ini.” pikirku.Sejuknya angin membuatku penasaran untuk melihat setiap sudut di tembok ini. Ketika hendak melihat bagian bawah tembok dari atas, tiba-tiba terdengar suara. Gedebuk gedebuk… Bunyi mulai terngiang di telingaku, disaat indra penghlihatan mengarah ke kanan jalur perjalanan tembok. Aku melihat dari jarak ku berdiri sekitar 200 meter disana segerombolan singa besar berlari ke arahku.Perasaanku yang saat itu bingung bercampur kesal, langsung berlari dengan kencang lurus ke dapan. Betapa tidak, jika aku melompat ke sisi luar pun, mungkin nyawaku juga akan hilang karena tingginya benteng ini setara sebuah bukit dan lebih parahnya lagi di belakangku singa-singa ganas mulai menyerbuku.
Berlari
dan terus berlari walau kaki terasa sangat lelah, tapi itulah yang sedang aku
lakukan karena tak ada cara lain kecuali berlari sekencang-kencangnya untuk
menyelamatkan diri.
Beberapa
saat kemudian aku terhenti ketika melihat nyawaku sudah tidak punya harapan
lagi ditambah kaki yang sudah tak mampu melangkah dalam peristiwa berbahaya
ini, karena seekor singa buas berada di depanku dengan jarak 50 meter. “Astaga
kalau begini, aku hanya bisa pasrah kepadamu tuhan.” ucapku. Dalam keadaan yang
mungkin tidak bisa dibayangkan. Aku mencoba menenangkan hati, dan berdamai
dengan diriku sendiri. Aku bertanya “Tunggu-tunggu, kenapa aku berada di tempat
ini?” “Sedangkan aku tidak tahu jalan ke negeri ini.” lanjutku dalam hati yang
agak tenang. Terbesit kesadaranku yang memahami tentang kejadian semua ini. Aku
membuka mata melihat tubuhku masih berada di antara segerombolan singa dari
belakang dan seekor singa paling besar dari depan yang mendekat ke arah
se’onggok daging segar, yah daging itu adalah diriku. Singa-singa yang berlari
langsung melompat ke arahku dengan cakar dan taring-taringnya yang tajam wuuz…
seketika terhanti begitu saja, saat mereka melihatku tertawa. “Hahahaha… Hey
kalian mau makan apa dariku?” tubuhku dan kalian hanya ilusi dalam keadaan sekarang
ini, aku ini sedang bermimpi.” “Kalian diciptakan oleh pikiranku sendiri,
bahkan bukan kalian saja, semua yang kulihat cuma ada di halusinasiku.”
lanjutku pada binatang-binatang itu yang sepertinya mengerti ucapanku.
Sekarang
singa-singa itu menunduk padaku kemudian lenyap tak tahu kemana. Aku pun
kembali menikmati pemandangan indah dari atas tembok besar, beberapa saat juga
semuanya yang ku lihat sirna seperti singa singa tadi. Mataku yang mulai
terbuka membuatku sadar, kalau aku sudah kembali ke kamarku lagi, dan dalam
kelelahan kaki yang kurasakan karena sudah berlarian dalam pikiranku sendiri,
aku pun tersenyum puas telah melewati mimpi yang mengasyikan hari ini. Kejadian
ini memberiku pesan bahwa ketakutan, keindahan, rasa senang atau derita semuanya
hanya ada di dalam pikiranku, bukan hanya di dunia mimpi, tapi juga dunia
nyata.
Untuk
Sahabatku
Ketika dunia terang, alangkah semakin indah jikalau
ada sahabat disisi. Kala langit mendung, begitu tenangnya jika ada sahabat
menemani. Saat semua terasa sepi, begitu senangnya jika ada sahabat
disampingku. Sahabat. Sahabat. Dan sahabat. Ya, itulah kira-kira sedikit
tentang diriku yang begitu merindukan kehadiran seorang sahabat.
Aku memang seorang yang sangat fanatik pada persahabatan. Namun, sekian lama pengembaraanku mencari sahabat, tak jua ia kutemukan. Sampai sekarang, saat ku telah hampir lulus dari sekolahku. Sekolah berasrama, kupikir itu akan memudahkanku mencari sahabat. Tapi kenyataan dengan harapanku tak sejalan. Beragam orang disini belum juga bisa kujadikan sahabat. Tiga tahun berlalu, yang kudapat hanya kekecewaan dalam menjalin sebuah persahabatan. Memang tak ada yang abadi di dunia ini. Tapi paling tidak, kuharap dalam tiga tahun yang kuhabiskan di sekolahku ini, aku mendapatkan sahabat.
Nyatanya, orang yang kuanggap sahabat, justru meninggalkanku kala ku membutuhkannya. “May, nelpon yuk. Wartel buka tuh,” ujar seorang teman yang hampir kuanggap sahabat, Ria pada sahabatku yang lain saat kami di perpustakaan. “Yuk, yuk, yuk!” balas Maya, ‘sahabatku’. Tanpa mengajakku Kugaris bawahi, dia tak mengajakku. Langsung pergi dengan tanpa ada basa-basi sedikitpun. Padahal hari-hari kami di asrama sering dihabiskan bersama. Huh, apalagi yang bisa kulakukan. Aku melangkah keluar dari perpustakaan dengan menahan tangis begitu dasyat. Aku begitu lelah menghadapi kesendirianku yang tak kunjung membaik. Aku selalu merasa tak punya teman. “Vy, gue numpang ya, ke kasur lo,” ujarku pada seorang yang lagi-lagi kuanggap sahabat. Silvy membiarkanku berbaring di kasurnya. Aku menutup wajahku dengan bantal.
Tangis yang selama ini kutahan akhirnya pecah juga. Tak lagi terbendung. Sesak di dadaku tak lagi tertahan. Mengapa mereka tak juga sadar aku butuh teman. Aku takut merasa sendiri. Sendiri dalam sepi begitu mengerikan. Apa kurangku sehingga orang yang kuanggap sahabat selalu pergi meninggalkanku. Aku tak bisa mengerti semua ini. Begitu banyak pengorbanan yang kulakukan untuk sahabat-sahabatku, tapi lagi-lagi mereka menjauhiku. “Faiy, lo kenapa sih ? kok nangis tiba-tiba,” tanya Silvy padaku begitu aku menyelesaikan tangisku. “Ngga papa, Vy,” aku mencoba tersenyum. Senyuman yang sungguh lirih jika kumaknai. “Faiy, tau nggak ? tadi gue ketemu loh sama dia,” ujar Silvy malu-malu. Dia pasti ingin bercerita tentang lelaki yang dia sukai.
Aku tak begitu berharap banyak padanya untuk menjadi sahabatku. Kurasa semua sama. Tak ada yang setia. Kadang aku merasa hanya dimanfaatkan oleh ‘sahabat-sahabatku’ itu. Kala dibutuhkan, aku didekati. Begitu masalah mereka selesai, aku dicampakkan kembali. “Faiy, kenapa ya, Lara malah jadi jauh sama gue. Padahal gue deket banget sama dia. Dia yang dulu paling ngerti gue. Sahabat gue,” Silvy curhat padaku tentang Lara yang begitu dekat dengannya, dulu. Sekarang ia lebih sering cerita padaku. Entah mengapa mereka jadi menjauh begitu. “Yah, Vy. Jangan merasa sendirian gitu dong,” balasku tersenyum. Aku menerawang,” Kalau lo sadar, Vy, Allah kan selalu bersama kita. Kita ngga pernah sendirian. Dia selalu menemani kita. Kalau kita masih merasa sendiri juga, berarti jelas kita ngga ingat Dia,” kata-kata itu begitu saja mengalir dari bibirku. Sesaat aku tersadar. Kata-kata itu juga tepat untukku. Oh, Allah, maafkanku selama ini melupakanmu. Padahal Dia selalu bersamaku. Tetapi aku masih sering merasa sendiri.
Aku memang seorang yang sangat fanatik pada persahabatan. Namun, sekian lama pengembaraanku mencari sahabat, tak jua ia kutemukan. Sampai sekarang, saat ku telah hampir lulus dari sekolahku. Sekolah berasrama, kupikir itu akan memudahkanku mencari sahabat. Tapi kenyataan dengan harapanku tak sejalan. Beragam orang disini belum juga bisa kujadikan sahabat. Tiga tahun berlalu, yang kudapat hanya kekecewaan dalam menjalin sebuah persahabatan. Memang tak ada yang abadi di dunia ini. Tapi paling tidak, kuharap dalam tiga tahun yang kuhabiskan di sekolahku ini, aku mendapatkan sahabat.
Nyatanya, orang yang kuanggap sahabat, justru meninggalkanku kala ku membutuhkannya. “May, nelpon yuk. Wartel buka tuh,” ujar seorang teman yang hampir kuanggap sahabat, Ria pada sahabatku yang lain saat kami di perpustakaan. “Yuk, yuk, yuk!” balas Maya, ‘sahabatku’. Tanpa mengajakku Kugaris bawahi, dia tak mengajakku. Langsung pergi dengan tanpa ada basa-basi sedikitpun. Padahal hari-hari kami di asrama sering dihabiskan bersama. Huh, apalagi yang bisa kulakukan. Aku melangkah keluar dari perpustakaan dengan menahan tangis begitu dasyat. Aku begitu lelah menghadapi kesendirianku yang tak kunjung membaik. Aku selalu merasa tak punya teman. “Vy, gue numpang ya, ke kasur lo,” ujarku pada seorang yang lagi-lagi kuanggap sahabat. Silvy membiarkanku berbaring di kasurnya. Aku menutup wajahku dengan bantal.
Tangis yang selama ini kutahan akhirnya pecah juga. Tak lagi terbendung. Sesak di dadaku tak lagi tertahan. Mengapa mereka tak juga sadar aku butuh teman. Aku takut merasa sendiri. Sendiri dalam sepi begitu mengerikan. Apa kurangku sehingga orang yang kuanggap sahabat selalu pergi meninggalkanku. Aku tak bisa mengerti semua ini. Begitu banyak pengorbanan yang kulakukan untuk sahabat-sahabatku, tapi lagi-lagi mereka menjauhiku. “Faiy, lo kenapa sih ? kok nangis tiba-tiba,” tanya Silvy padaku begitu aku menyelesaikan tangisku. “Ngga papa, Vy,” aku mencoba tersenyum. Senyuman yang sungguh lirih jika kumaknai. “Faiy, tau nggak ? tadi gue ketemu loh sama dia,” ujar Silvy malu-malu. Dia pasti ingin bercerita tentang lelaki yang dia sukai.
Aku tak begitu berharap banyak padanya untuk menjadi sahabatku. Kurasa semua sama. Tak ada yang setia. Kadang aku merasa hanya dimanfaatkan oleh ‘sahabat-sahabatku’ itu. Kala dibutuhkan, aku didekati. Begitu masalah mereka selesai, aku dicampakkan kembali. “Faiy, kenapa ya, Lara malah jadi jauh sama gue. Padahal gue deket banget sama dia. Dia yang dulu paling ngerti gue. Sahabat gue,” Silvy curhat padaku tentang Lara yang begitu dekat dengannya, dulu. Sekarang ia lebih sering cerita padaku. Entah mengapa mereka jadi menjauh begitu. “Yah, Vy. Jangan merasa sendirian gitu dong,” balasku tersenyum. Aku menerawang,” Kalau lo sadar, Vy, Allah kan selalu bersama kita. Kita ngga pernah sendirian. Dia selalu menemani kita. Kalau kita masih merasa sendiri juga, berarti jelas kita ngga ingat Dia,” kata-kata itu begitu saja mengalir dari bibirku. Sesaat aku tersadar. Kata-kata itu juga tepat untukku. Oh, Allah, maafkanku selama ini melupakanmu. Padahal Dia selalu bersamaku. Tetapi aku masih sering merasa sendiri.
Sedangkan Allah setia bersama kita sepanjang waktu.
Bodohnya aku. Aku ngga pernah hidup sendiri. Ada Allah yang selalu menemaniku.
Dan seharusnya aku sadar, dua malaikat bahkan selalu di sisiku. Tak pernah
absen menjagaku. Kenapa selama ini aku tak menyadarinya? Dia akan selalu
mendengarkan ‘curhatanku’. Dijamin aman. Malah mendapat solusi. Silvy tiba-tiba
memelukku. “Sorry banget, Faiy. Seharusnya gue sadar. Selama ini tuh lo yang
selalu nemenin gue, dengerin curhatan gue, ngga pernah bete sama gue. Dan lo
bisa ngingetin gue ke Dia. Lo shabat gue. Kenapa gue baru sadar sekarang, saat
kita sebentar lagi berpisah…” Silvy tak kuasa menahan tangisnya. Aku merasakan
kehampaan sejenak. Air mataku juga ikut meledak. Akhirnya, setelah aku sadar
bahwa aku ngga pernah sendiri dan ingat lagi padaNya, tak perlu aku yang
mengatakan ‘ingin menjadi sahabat’ pada seseorang. Bahkan malah orang lain yang
membutuhkan kita sebagai sahabatnya. Aku melepaskan pelukan kami. “ Makasih ya,
Vy. Ngga papa koki kita pisah. Emang kalau pisah, persahabatan bakal putus.
Kalau putus, itu bukan persahabatan,” kataku tersenyum.
Akhir sisa-sisa air mataku. Kami tersenyum bersama.
Persahabatan yang indah, semoga persahabatan kami diridoi Allah. Sahabat itu,
terkadang tak perlu kita cari. Dia yang akan menghampiri kita dengan
sendirinya. Kita hanya perlu berbuat baik pada siapapun. Dan yang terpenting,
jangan sampai kita melupakan Allah. Jangan merasa sepi. La takhof, wala tahzan,
innallaha ma’ana..Dia tak pernah meninggalkan kita. Maka jangan pula
tinggalkannya.
TAMAT
Unsur
Instrinsik :
• Tema : Persahabatan
• Tokoh : Faiy, Maya, Ria, Silvy,
Lara
• Watak :
·
Faiy
: Kurang percaya diri
·
Maya
: Tidak peduli
·
Ria:
Tidak peduli
·
Lara
: Acuh
·
Silvy:
Peduli
• Alur : Maju mundur
• Latar :
Tempat
·
Asrama
·
Perpustakaan
·
Di
kamar silvy
Waktu
Siang Hari
Suasana : Mengharukan
Sudut pandang : Orang Pertama
Amanat : Sebagai makluk hidup kita
harus percaya adanya tuhan yang selalu menemani umatnya dimana pun berada.
Unsur Ekstrinsik:
-Nilai Agama
Nilai agama yaitu nilai-nilai dalam
cerita yang berkaitan dengan aturan/ajaran yang bersumber dari agama tertentu.
-Nilai Moral
Nilai moral yaitu nilai-nilai dalam
cerita yang berkaitan dengan akhlak/perangai atau etika. Nilai moral dalam
cerita bisa jadi nilai moral yang baik, bisa pula nilai moral yang buruk/jelek.
-Nilai Budaya
Nilai budaya adalah nilai-nilai yang
berkenaan dengan kebiasaan/tradisi/adat-istiadat yang berlaku pada suatu
daerah.
-Nilai Sosial
Nilai sosial yaitu nilai-nilai yang
berkenaan dengan tata pergaulan antara individu dalam masyarakat.
Sekolah
Baru yang Indah
Udara masih begitu dingin ketika akhirnya aku mulai
menghabiskan masa liburan panjang kemarin. Hari ini adalah hari dimana aku
harus mulai lagi rutinitas seperti biasa sebagai seorang pelajar.
Tahun ini aku lulus dari sekolah menengah pertama atau yang
sering disingkat SMP. Lulus dengan hasil memuaskan aku akhirnya menghabiskan
masa liburan panjang yang bertepatan dengan libur hari raya dengan hati yang
sangat gembira. Lama, aku sampai lupa berapa hari tapi yang jelas libur telah
usai dan aku harus melanjutkan sekolah.
Lulus SMP aku melanjutkan ke SMA terdekat di daerahku dengan
beberapa teman lain. Aku termasuk beruntung bisa masuk di sekolah tersebut.
Banyak teman –teman lain yang tidak terima.
Setelah berbagai persiapan yang dilakukan akhirnya hari ini
dalah hari pertama masuk sekolah. Hari ini aku mulai mengikuti acara mos atau
orientasi siswa. Aku sangat senang, sekolahku sangat indah berbeda dengan
sekolah yang dulu.
Banguna sekolahnya banyak dan bagus, di bagian depan ada
tingkat untuk ruang laboratorium bahaca dan perpustakaan. Lapangan basketnya
ada, halaman sekolahnya asri dengan taman yang dipenuhi bunga mengelilingi
bagian depat kelas.
Tiga hari mengikuti mos aku tidak banyak bicara selain
menikmati suasana sekolah yang nyaman. “Hei, jangan melamun terus,nanti bukunya
diambil orang loh.”,ucap salah satu teman menyapaku.
“Eh,iya....kamu
siapa?’
“Aku
satu kelas dengan kamu, mask kamu lupa.....”
“Iya
aku ingat tapi maksudku kita belum kenalan, aku Dewi”
“Oh,iya
kau Ratna....aku mau kekantin kamu mau ikut tidak ?’
“Oh
iya,aku ikut....”
Senang rasanya mendapat banyak teman baru, Ratna adalah
salah satu teman sekelasku. Ada banyak teman lain yang baru aku kenal, mereka
kebanyakkan baik – baik, cakntik , dan ganteng lagi.
Setelah masa mos selesai kami mulai mendapatkan pelajaran
seperti biasa di sekolah. Hari itu hari senin ketika kita pertama kali kita
mulai belajar di SMA. Mata pelajaran pertama, tiba – tiba kau merasa takut,
“kok gurunya seperti itu ya...” bisikku kepada teman sebangku.
“
Memang kenapa sih?” jawab Ratna.
“
Itu, seram, sepertinya bapak itu galak...” ucapku lagi.
Aku sempat takuk sekali melihat penampilan guru pertama itu.
Bayangkan saja, badanya tinggi besar, hitam, matanya tajam dan yang paling
memebuat aku takut adalah kumisnya yang sangat tebal.
Karena sangat takut aku bahkan sampai merinding dan gemetar,
“aduh bbagaimana ini...”,ucapku lirih.
“Sudah,
diam jangan ribut dulu, belum tentu bapak itu galak.” Jawab Ratna sambil
melotot ke aku.
Akhirnya kau serius memperhatikan bapak itu. Ternyata benar,
setelah berkenalan dan memberikan pelajaran bapak itu tidak galak. Suaranya
lembut dan erlihat sabar. Akhirnya, pelan – pelan rasa takut ku pun hilang.
Begitulah hari pertama yang menegangkan ternyata tidak
seperti yang aku takutkan sebelumnya. Pengalaman hari ini pertama masuk sekolah
itu membuatku tidak takut lagi ketika melihat guru lain yang tampak galak.
BANGKIT
Pandanganku pada langit tua. Cahaya bintang
berkelap kelip mulai hilang oleh kesunyian malam. Aku berjalan
menyusuri lorong malam sepi nan gelap. Cahaya bulan malam ini begitu indahnya.
Hari ini benar-benar hari yang melelahkan. Konflik dengan orang tua karena
tidak lulus sekolah. Hari ulang tahun yang gagal di rayakan. Dan hadiah sepeda
motor yang terpaksa di kubur dalam-dalam karena tak lulus, belum lagi si adik
yang menyebalkan. Teman-teman yang konvoi merayakan kemenangan, sedang aku?
Hari-hari yang keras kisah cinta yang
pedas. Angin malam berhembus menebarkan senyumku walau sakit dalam hati mulai
mengiris. Sesekali aku menghapus air mataku yang jatuh tanpa permisi. Sakit
memang putus cinta.
Rasanya beberapa saat lalu, aku masih bisa
mendengar kata-kata terakhirnya yang tergiang-ngiang merobek otak ku.
“sudah sana… Kejarlah keinginanmu itu!,
kamu kira aku tak laku, jadi begini sajakah caramu, oke aku ikuti.. Semoga kamu
tidak menyesal menghianati cinta suci ini.” beberapa kata yang sempat masuk ke
hpku, di ikuti telpon yang sengaja ku matikan karena kesal atau muak.
Aku termenung di pinggir jalan, memegang
kepalaku yang sakit.
“selamat malam..? Sorii mba kayanya lagi
sedih banget boleh aku minta duitnya..” seorang pemabuk dengan botol bir di
tangan kiri dengan jalan yang tak beraturan,
Ia mengeluarkan sebilah pisau lipat dan
mengancamku. Aku hanya terdiam tak berkata, membuatnya sedikit binggung. Aku
meraih tas di sampingku dan menyerahkan padanya. “ini ambil semua.. Aku tak
butuh semua ini. Aku hanya ingin mati…!” Aku melemparkan tas ke hadapannya yang
di sambut dengan senyum picik dan iapun menghilang di gelapnya malam.
Aku bangkit berdiri dan berjalan menyusuri
malam, berdiri menatap air suangai yang mengalir airnya deras.Di sini di atas
jembatan tua ini. Angin sepoi-sepoi menyerang tubuh ku. Aku berdiri menatap
langit yang bertabur bintang, rasanya tak ada yang penting bagiku sekarang.
Perlahan-lahan aku berjalan menaiki jembatan dan berdiri bebas. Menutup mata
dan tinggal beberpa senti lagi aku akan terjatuh. Aku perlahan mengangkat kaki
kananku dan…?
Tiba-tiba sosok pemabuk yang menodong pisau
padaku ku tadi, menarik baju ku dan menampar pipiku kuat, keras sekali
tamparannya
“ini uang dan tas mu…!! Aku tak butuh..!
Aku lebih baik mati kelaparan dari pada melihat wanita lemah sepertimu” ia
menarik ku turun dan melemparkan tasku di atas tanah
Dan ia berlalu pergi. Aku
bangkit dan meraih tas ku kembali menyusuri tangga turun. Sosok yang tadi, pria
mabok yang ternyata seumuran denganku, di sekujur tubuhnya penuh tato dan
tubuhnya kurus sekali. Ia berdiri termenung pada tangga jalan. Sesekali menatap
langit dan menghapus air matanya.
“boleh aku berdiri disini bersamamu? Aku
menyapanya tapi ia hanya terdiam membisu”. Aku berdiri di sampingnya menunggu
sampai kapan ia akan berdiri pergi dari sini.
“kenapa kamu menamparku..?
Kenapa kamu menolongku?
Aku sudah tak berarti lagi. Pria yang aku
cintai bertahun-tahun mencapakanku dengan tuduhan yang tak jelas, aku memulai
pembicaraan”.
Dengan sesekali menghapus air mata akibat
dari gejolak di hatiku. “apa kamu akan terdiam atau aku telah mengusikmu?”. Aku
melihatnya dan ia balik menatapku tajam. Aroma alkohol dari mulutnya jelas
tercium saat ia bicara “maafkan aku..? Sungguh aku minta maaf, menurut ku kamu
terlalu lemah, masalah apapun jangan berhenti untuk bangkit, bukankah setiap
hari kita merasakan hal yang sama? Ia berkata sembari mengulurkan tangannya
yang ternyata cuma 2 jari yang utuh, Aku mulai merinding karena sedikit takut.
Sehingga aku tak membalas uluran tangannya. “kaget ya mbak?. Jari ku yang lain
di potong oleh preman karena persaingan. Hidup di jalan seperti ku ini, hawanya
sangat dingin dan penuh nyali besar, bahkan untuk tertidur saja itu sulit.
Harus rela kedinginan, Di gigit nyamuk dan tempat ku tertidur hanya di emperan
toko, Dan kalau sudah penuh oleh gembel lain, terpaksa aku harus mencari tempat
lain yang menurutku layak. Maaf bila aku mengambil tas mu. Aku butuh makan,
sudah 3 hari aku tidak makan, sisa makanan di tong sampah sudah membusuk karena
hujan kemarin, Biasanya aku mencari secerca kenikmatan disana yang masih bisa
layak ku telan, rasa lapar tak akan bisa membuatmu jijik. Setiap hari saat
membuka mata yang anda ingat hanya perut dan perut.”Ia terdiam dan mengalihkan
pandanganya luas menembus angkasa, langit malam ini. Aku hanya terdiam terpaku
dengan mulut terbuka, betapa aku tak percaya setengah mati. Bagaimana mungkin
seandainya sekarang aku berada di posisi ini? Aku yang terlahir dari keluar
sederhana namun penuh kehangatan, uang bukan masalah, aku hanya meminta tanpa
pernah tahu bagaimana orang tuaku mendapatkannya, semuanya cukup, tapi ternyata
itu bukan kebahagian, itu nafsu sesaat, Aku memang memiliki segalanya tapi
tidak dengan cinta, selalu ada yang kurang setiap hari. Tanpa kebersaman kita
mati. Terutama pentingnya mensyukuri apa yang ada. Aku menarik tangan dan
menjabat tangannya kuat-kuat yang tinggal dua jari meski sedikit risih karena
aneh menurutku. Aku memberinya sedikit pelukan hangat. Ia tersenyum memamerkan
mulutnya yang bau alkohol dan bau wc umum. Aku menyerahkan tas ku padanya.
“ambil lah.. Aku tak mengenalmu tapi kamu memberi ku banyak alasan hari ini,
kenapa aku harus kuat menghadapi hidupku sekarang dan nanti, bukankah hidup
harus tetap di jalani. Aku sadar masih punya segalanya, bodoh sekali cuma
karena cinta semangatku hilang, belum tentu ia jodohku, belum tentu ia juga
memikirkan hal yang sama, rasa sakitku”. Aku berlari menuruni tangga
meninggalkan ia sendiri yang masih terdiam menatap kembali langit yang
menampakan bintang-bintang kecil yang berkelip dengan jenaka, seakan hari ini
tak akan berlalu.
Ketika aku akan menapaki jalan. Kekasihku
sedang berdiri di depanku dengan bunga mawar banyak sekali di tangannya,
sementara di belakangnya orang tua dan adikku yang berdiri di samping mobil,
kami saling terdiam untuk beberapa saat ia memulai.“maafkan aku sayang,
ternyata aku yang salah menilaimu, makasih ya?, sudah membuat hidupku lebih
berharga karena ini. Ia menyerahkan bunga dengan sebuah diary usang punyaku,
yang entah dari mana ia mendapatkannya. Tapi disinilah aku bisa menulis
menitikan setiap masalah, rasa banggaku atas kekasihku ini. Aku memeluk erat
tubuhnya lama kami terdiam di iringi tangis dan canda menghiasi malam,
sementara kedua orang tuaku tersenyum senang. Aku mengajak kekasihku menaiki
tangga untuk mengenalkan pada orang yang mengajarkanku banyak hal. Khususnya
arti bersyukur.Kami menapaki jalan tangga dan melirik sekeliling dan mencari
namun sosok itu hilang tak berbekas? Kami turun dan kami pergi ke mall bersama
orang tua dan adik ku untuk merayakan ulang tahunku.
Walaupun tetap aku tak dapat sepeda motor
karena tak lulus tapi bukan berarti kehangatan ini harus berakhir
1. Unsur Intrinsik
cerpen ‘‘Bangkit’’
1.Tema: Jangan mudah putus asa / kehidupan
2.Latar:
-Waktu : Malam hari
Bukti : Cahaya bulan malam ini begitu
indahnya.
-Tempat : di pinggir jalan dan di atas
jembatan
Bukti : ‘Aku termenung di pinggir
jalan, memegang kepalaku yang sakit. ‘
‘ Di sini di atas jembatan tua ini angin
sepoi-sepoi menyerang tubuh ku’.
-Suasana : Sunyi sepi
Bukti : ‘Aku berjalan menyusuri lorong malam
sepi nan gelap.’
3. Alur : Maju
-Karena jalan cerita dijelaskan secara runtut
mulai dari pengenalan latar dan masalah sampai ke
konflik dan di akhir cerita terdapat penyelesaian konflik.
4.Penokohan :
– Aku : mudah putus asa, kurang bersyukur dan
selalu mengeluh
Bukti :
‘Kenapa kamu menolongku? Aku sudah tak berarti
lagi.’
‘Aku hanya meminta tanpa pernah tahu bagaimana
orang tuaku mendapatkannya.’
-Pria pemabuk : pemabuk dan kuat menghadapi
beratnya hidup
Bukti :
‘seorang pemabuk dengan botol bir di tangan
kiri dengan jalan yang tak beraturan’
‘Hidup di jalan seperti ku ini, hawanya sangat
dingin dan penuh nyali besar, bahkan untuk tertidur saja itu sulit.’
5.Sudut pandang : orang pertama sebagai pelaku
utama.
-Bukti : Cerpen bangkit menggunakan kata ganti
“aku” sebagai tokoh utama dan mengisahkan tentang dirinya sendiri.
6. Nilai :
-Nilai Moral : Saat tokoh ‘aku’ menyadari selama
ini hanya meminta tanpa pernah tahu bagaimana orang tuanya
mendapatkannya.Kita seharusnya bersyukur dengan apa yang telah kita miliki
tidak hanya menuntut sesuatu karna diluar sana masih banyak orang yang
kekurangan.
-Nilai Perjuangan = Pria pemabuk berjuang
bertahan hidup di jalanan yang keras. Di kehidupan nyata banyak orang yang
melakukan apapun untuk berjung hidup. Kita harus berjuang mempertahankan hidup
di dunia yang keras ini.
-Nilai Kepedulian = Saat Pria pemabuk
menyelamatkan tokoh ‘aku’ yang akan terjun dari jembatan. Banyak orang yang
membutuhakan bantuan kita saat menghadapi masalah kita seharusnya membantu
mereka tidak membiarkannya.
7.Amanat :
1. Jangan mudah putus
asa dalam menjalani kerasnya hidup.
2. Bersyukurlah atas
apa yang telah dimiliki.
3. Hidup tidaklah
sempurna kadang manusia diatas dan kadang dibawah.
4. Jangan lari dari
permasalahan.
5. Kegagalan adalah
awal dari keberhasilan.
6. Masalah apapun
jangan berhenti untuk bangkit
2. Unsur Ekstrinsik
cerpen “Bangkit”
3. Latar Kepengarangan
Penulis : Penulis menjumpai berbagai reaksi masyarakatt saat mereka gagal dan
berputus asa. Dalam cerpen ini penulis ingin menginspirasi/memotivasi
orang-orang dalam menghadapi kerasnya hidup melalui ceritanya.
4. Keyakinan Penulis :
Penulis yakin bahwa kejadian ini banyak ditemui di masyarakat. Banyak orang
yang bunuh diri karena putus asa maka penulis menggambarkan situasi tersebut
dalam sebuah cerpen.
5. Masyarakat pembaca
: Pembaca dapat mengambil hikmah dari cerpen ini karena cerpen
ini mengandung masalah-masalah yang ada di masyarakat dan masih
banyak orang yang memiliki masalah yang sama dengan cerpen ini.
No comments:
Post a Comment