http://covelign.com
Perbandingan Administrasi
Negara
1.1 Latar Belakang
Setiap Negara-negara didunia memiliki struktur
pemerintahan ataupun sistem pemerintahan dalam penyelenggaraan kebijakan dan
mengukur kualitas pelayanan yang diberikan suatu Negara kepada warganya. Setiap
sistem maupun detail pemerintahan yang dianut di dalam suatu Negara tidak
serta-merta timbul dengan sendirinya, melainkan diadaptasi dari
pemikiran-pemikiran para ilmuwan yang kemudian diterapkan di masing-masing
Negara sesuai dengan latar belakang suatu bangsa dan kepribadian bangsa di
dalam suatu Negara tersebut. Latar belakang masyarakat Indonesia yang majemuk
(multikultural) mempengaruhi sistem administrasi maupun pemerintahan di
indonesia. Sebelum penulis membahas lebih jauh sistem pemerintahan di
Indonesia, penulis akan menjelaskan terlebih dahulu mengenai sistem
administrasi itu sendiri.
Jadi, sistem adalah kesatuan yang utuh dari suatu
rangkaian, yang kait-mengait satu sama lain. Bagian atau anak cabang dari suatu
sistem, menjadi induk dari rangkaian selanjutnya. Begitulah seterusnya sampai
pada bagian terkecil. Rusaknya salah satu bagian akan mengganggu kestabilan
sistem itu sendiri secara keseluruhan.
Jadi sistem admnistrasi Negara merupakan Keseluruhan
penyelenggaraan pemerintahan Negara yang melibatkan segenap aparatur Negara,
sumber daya dan sumber dana dalam rangka mencapai tujuan negara dan tujuan
pemerintah. Dari definisi ini, maka gejala-gejala administrasi negara dapat
kita temui disemua tingkatan dan semua jajaran pemerintahan. Sistem
Administrasi Negara pada dasarnya hanya merupakan suatu model. Selanjutnya
sistem administrasi negara Indonesia dapat diartikan baik secara luas maupun
secara sempit. Kedudukan administrasi publik yang berorientasi pada
prinsip-prinsip manajemen tersebut kemudian terus berkembang, terutama ketika
beberapa ilmuwan dan cendekiawan menyatakan bahwa administrasi publik pada
hakekatnya memiliki fungsi mengurusi organisasi dan manajemen pemerintah dalam
melaksanakan kekuasaan politiknya, termasuk dalam proses penentuan
kebijaksanaan politik.
Pada hakekatnya dilihat dari segi unsur-unsur yang
mempengaruhi, suatu sistem administrasi negara-negara di dunia dapat dikatakan
hampir sama satu dengan yang lainnya. Demikian juga sistem administrasi negara
Indonesia tidaklah jauh berbeda dengan sistem administrasi negara yang lain,
yakni suatu sistem administrasi negara yang memiliki unsur-unsur dan
dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Namun demikian karena tidak ada sistem
administrasi negara yang persis sama antara negara yang satu dengan negara yang
lain, maka sistem administrasi negara Indonesia dalam eksistensinya juga
berbeda dengan sistem administrasi negara lainnya.Trend lain dari pertumbuhan
administrasi publik adalah terbentuknya berbagai asosiasi administrasi publik
baik secara nasional maupun internasional. Akhirnya, bersamaan dengan
berkembangnya berbagai masalah sosial dan ekonomi di tengah masyarakat dunia
pada tahun 80-an, terlihat gejala-gejala akan munculnya suatu paradigma baru
administrasi publik yang berorientasi kepada pemenuhan kebutuhan masyarakat.
Dalam arti luas administrasi negara adalah kegiatan
negara dalam melaksanakan kekuasaan politiknya. Pengertian tersebut telah
diuraikan pada bagian atas, yaitu menyangkut kegiatan keseluruhan lembaga
negara. Sedangkan dalam pengertian sempit, administrasi negara adalah kegiatan
pemerintah (eksekutif) dalam penyelenggaraan pemerintahan. Dengan demikian
dapatlah disimpulkan bahwa dalam arti yang luas administrasi negara menyangkut
kegiatan keseluruhan lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif dalam
menyelenggarakan kegiatan kenegaraan, sedangkan dalam arti sempit administrasi
negara menyangkut kegiatan penyelenggaraan pemerintahan oleh eksekutif
(pemerintah), yang tentu saja di dalam proses penyelenggaraan pemerintahan
tersebut melibatkan keseluruhan masyarakat dengan memperhitungkan kemampuan
pendanaannya.
1.2 Rumusan
Masalah
1. Bagaimana sejarah perkembangan
sistem administrasi Negara di Indonesia?
2. Bagaimana perkembangan paradigma
dalam sistem administrasi Negara?
3. Bagaimana model sistem administrasi
Negara pada era pembangunan?
1.3 Tujuan
dan Manfaat
1.3.1. Tujuan
1. Untuk mengetahui dan memahami perkembangan
administrasi Negara di Indonesia sebagai suatu sistem.
2. Untuk mengetahui dan memahami apa saja paradigma
sistem administrasi Negara dan bagaimana perkembangan paradigma sistem
administrasi Negara di Indonesia.
3. Untuk mengetahui dan memahami bagaimana model sistem
administrasi Negara yang berkembang pada era pembangunan nasional.
1.3.2 Manfaat
Makalah ini mempunyai manfaat bagi segala kalangan,
dalam kalangan akademisi makalah ini dapat digunakan sebagai referensi dalam
penulisan maupun literature bahan ajar bagi peserta didik. Bagi kalangan
siswa maupun mahasiswa, makalah ini dapat dimanfaatkan sebagai referensi dalam
pemenuhan tugas maupun sebagai bahan dalam proses belajar.
Sedangkan bagi masyarakat sipil makalah ini dapat berdaya guna agar daya pikir masyarakat semakin berkembang dan mengatahui bagaimana sistem pemerintahan yang ada di dunia terutama sistem pemerintahan yang digunakan di Indonesia.
Sedangkan bagi masyarakat sipil makalah ini dapat berdaya guna agar daya pikir masyarakat semakin berkembang dan mengatahui bagaimana sistem pemerintahan yang ada di dunia terutama sistem pemerintahan yang digunakan di Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian ilmu admistrasi negara
Ilmu Administrasi Negara adalah ilmu
pengetahuan (cabang ilmu administrasi) yangs ecara khas melakukan studi
(kajian) terhadap fungsi intern dan ekstern daripada stuktur-struktur dan
proses-proses yang terdapat di dalam bagian yang sangat penting daripada sistem
dan Aparatur Pemerintah, yang secara singkat disebut dengan Administrasi
Negara, yang dalam bahasa Inggris Amerika disebut Public Administration,
dan dalam bahasa Belanda disebut Openbaar Bestuur.
Administrasi
Negara adalah fungsi bantuan penyelenggaraan daripada pemerintah, artinya
(pejabat) pemerintah tidak dapat menunaikan tugas-tugas kewajibannya tanpa
Administrasi Negara. Administrasi Negara mengandung 2 (dua) pengertian, yaitu:
1) Administrasi daripada negara sebagai
organisasi, maka Administrasi Negara (sebagai fungsi) dijalankan oleh presiden
sebagai pemerintah, merangkap sebagai administrator negara, dengan memimpin dan
mengepalai suatu aparatur negara yang besar sekali, yang juga disebut
Administrasi Negara. Tata cara aparatur negara tersebuut menjalankan tugas
pekerjaannya merupakan suatu proses yang juga disebut Administrasi Negara.
2) dministrasi yang mengejar
tercapainya tujuan-tujuan yang bersifat kenegaraan, maka Administrasi Negara
(sebagai fungsi) dijalankan oleh setiap pejabat negara yang diserahi pimpinan
dan tanggung jawab atas suatu kesatuan organisasi negara. Misalnya Departemen,
Dirjen, Direktorat, Dinas, Kantor, Biro, Bagian, Lembaga, Propinsi, Kabupaten,
Kecamatan, Dese, BUMN, Rumah Sakit Negeri, dan lain sebgainya. Bahkan ketua
Mahkamah Agung (MA) sebgai pejabat negara harus menjalankan Administrasi
Negara, demikian juga ketua DPR, DPD, BPK, MPR, harus menjalankan Administrasi
Negara. Jadi setiap pejabat pemerintah secara otomatis berfungsi sekaligus
sebagai Administrasi Negara.
2.1.1 Pengertian
Administrasi Negara Menurut Para Ahli dan Sarjana :
a. Edward H. Lithfiled : Suatu studi mengenai bagaimana
bermacam-macam badan pemerintahan di organisir, dilengkapi tenaga-tenaganya,
dibiayai, digerakkan dan dipimpin.
b. Dwight Waldo : Administrasi Negara Mengandung 2 (dua) pengertian,
yakni : (1) Administrasi Negara adalah organisasi dan manajemen dari manusia
dan benda guna mencapai tujuan-tujuan pemerintah. (2) Administrasi Negara
adalah suatu seni dan ilmu yang dipergunakan untuk mengatur urusan-urusan negara.
c. Lembaga Administrasi Negara (LAN-RI) : Administrasi Negara adlah
keseluruhan penyelenggaraan kekuasan negara dengan memanfaatkan segala
kemampuan aparatur negara serta segenap dana dan daya untuk terlaksananya
tugas-tugas pemerintah dan tercapainya tujuan negar.
d. M. E. Dimoc & G. O. Dimoc : Administrasi Negara
merupakan kegiatan pemerintah di dalam melaksanaan kekuasaan politiknya.
e. Leonard D. White : Administrasi Negara adalah
keseluruhan operasi (aktivitas-aktivitas kerja) yang bertujuan menyelenggarakan
atau menegakkan kebijaksanaan kenegaraan.
f. Prof. Dr. Prajudi Admosudirdjo : Adinistrasi Negara mengandung 3
(tiga arti), yakni: (1) Administrasi Negara sebgai fungsi pemerintah untuk
mengurus atau menangani urusan-urusan kenegaraan (publik servicess) secara
tertentu. (2) Administrasi Negara sebagai aparatur dan aparat pemerintah
sebagai suatu organisasi untuk mengendalikan keadaan pemerintahan negara. (3)
Administrasi Negara sebagai proses penyelenggaraan berbagai macam tugas dan
urusan pemerintah secara terorganisasi, sistematika, metodis, dan teknis.
g. Arifin Abdulrachman : Administrasi Negara merupakan
ilmu yang mempelajari pelaksanaan dari politik negara.
h. J. Wajong : Tugas utama Administrasi Negara ialah pada dasarnya
merencanakan dan merumuskan kebijaksanaan politik, kemudian melaksanakannya dan
menyelenggarakannya
i. F. A. Nigro : Administrasi Negara mempunyai
peranan penting dalam merumuskan kebijaksanaan pemerintah dan merupakan bagian
dari proses politik.
Kesimpulan dari definis-definisi
tersebut adalah bahwa Administrasi Negara merupakan segala kegiatan aparatur
negara/pemerintah, untuk mencapai tujuan negara
2.2 Sejarah
Perkembangan Sistem Administrasi Negara Di Indonesia
Administrasi Negara sebenarnya sudah ada semenjak
dahulu kala, asal mula Administrasi Negara yakni di Eropa dan Amerika Serikat.
Administrasi negara akan timbul dalam suatu masyarakat yang terorganisir. Dalam
catatan sejarah peradaban manusia di Asia Selatan termasuk di Indonesia, Cina
dan Mesir Kuno, dahulu sudah didapatkan suatu sistem penataan pemerintahan.
Sistem penataan tersebut pada saat ini dikenal dengan sebutan Administrasi
Negara.
Apa yang dicapai dan diberikan oleh administrasi
negara sekarang, tidak lepas dari upaya-upaya yang tidak kenal lelah yang telah
dilakukan oleh para peletak dasar dan pembentuk administrasi yang dahulu.
Administrasi modern penuh dengan usaha untuk lebih menekan jabatan publik agar
mempersembahkan segala kegiatannya untuk mewujudkan kemak-muran dan melayani kepentingan
umum. Karena itu, administrasi negara tidak dipandang sebagai administrasi “of
the public”, tetapi sebaliknya adalah administrasi “for the public”.
Ide ini sebenarnya bukanlah baru.
Orientasi semacam ini telah dicanangkan dengan jelas dalam ajaran Confusius dan
dalam “Pidato Pemakaman” Pericles, bahkan dalam kehidupan bangsa Mesir kuno.
Bukti – bukti sejarah dengan jelas membuktikan upaya-upaya yang sistematis,
yang dikobarkan oleh tokoh-tokoh seperti Cicero dan Casiodorus. Selama abad
ke-16 – 18 tonggak kemapanan admi-nistrasi negara Jerman dan Austria telah
dipancangkan oleh kaum Kameralis yang memandang administrasi sebagai teknologi.
Administrasi negara juga memperoleh perhatian penting di Amerika, terutama
setelah negara ini merdeka. Apa yang dikemukakan oleh Cicero dalam De Officiis
misalnya, dapat ditemukan dalam kode etik publik dari kerajaan-kerajaan lama.
Hal yang umum muncul di antara mereka adalah adanya harapan agar administrasi
negara melakukan kegiatan demi kepentingan umum dan selalu mengembangkan
kemakmuran rakyat. Dengan kata lain, administrasi negara tidak seharusnya
mengeruk kantong kantornya (korupsi) demi kepentingan dirinya sendiri.
Administrasi Negara modern yang
dikenal saat ini merupakan produk dari suatu masyarakat feodal yang tumbuh
subur di negara-negara Eropa. Negara-negara di daratan Eropa yang semuanya
dikuasai oleh kaum feodal, bangsawan dan kaum ningrat kerajaan berusaha untuk
mengkokohkan pemerintahannya. Dengan semakin tumbuhnya perkembangan masyarakat,
sentralisasi kekuasaan dan pertanggungjawaban dalam pemerintahan monarki
menimbulkan suatu kebutuhan untuk mendapatkan korps administrator yang cakap,
penuh dedikasi, stabil, dan integritas. Korps administrator ini pada gilirannya
nanti akan menjadi tenaga spesialis pada masing-masing bidang dan jabatan yang
beraneka pada tataran pemerintahan nasional. Kebutuhan akan suatu sistem mulai
dirasakan, yakni suatu sistem untuk menata sentralisasi kekuasaan dan
pertanggungjawaban pemerintahan.
Salah satu perwujudan kebutuhan
suatu sistem penataan pemerintahan yang sistematis tersebut di Prusia dan
Austri dikenal dengan sistem kameralisma (cameralism). Sistem ini
dapat dikatakan sebagai awal mulanya administrasi negara. Kameralisame ini
dirancang untuk mencapai efisiensi manajemen yang tersentralisasi dan
paternalistik, yang ditandai oleh corak perekonomian yang merkantilistik.
Gejala diperlukannya sistem penataan administrasi pemerintahan seperti di
Prusia dan Austria tersebut, kemudian diperkuat di prancis sekitar abad ke-18 dengan
usaha-usaha untuk mengembangkan teknologi dan enjinering .
Walaupun unsur-unsur kameralisme dan
teknologi Prancis telah memberikan pengaruh yang signifikan terhadap
administrasi negara di berbagai negara Eropa pada waktu itu. Akan tetapi,
esensi dari unsur-unsur tersebut tampaknya mulaimemudar ketika terjadi Revolusi
Prancis dan juga ketika zaman Napoleon. Titik berat perhatian mulai beralih
diberikan kepada hak-hak individu dan kewajiban-kewajiban negara untuk
melindungi hak-hak tersebut. Sistem perekonomianlaisezz-faire mulai
dimanjakan. Kondifikasi hukum dan perkembangan-perkembangan di bidang lain yang
memimpin kearah terciptanya suatu kemerdekaan untuk berbeda pendapat dalam
negara danadministrasi mulai mewarnai admnistrasi pemerintahan waktu itu.
Esensi ini pada kemudian hari menimbulkan suatu rasa kewajiban dan loyalitas
kepada negara melalui suatu usaha penafsiran dan aplikasi hukum yang adil (fair-handed),
dan kebutuhan untuk menetapkan keabsahan dalam mengungkapkan
keinginan-keinginan kepada pemerintah. Suatu ungkapan pendapat yang menyarankan
agar pejabat-pejabat tinggi yang permanen (senior permanent officer)
seharusnua dididik terlebih dahuli di bidang hukum, merupakan suatu
kenyataan atas esensi tersebut. Timbullah waktu itu suatu ungkapan yang
menyatakan sebgaia berikut:
“Negara adalah berkuasa,
sentralisasi dan abasi (durable), Adapun birokrasi yang berorientasi
legalistik haruslah mengabdikan kepada fungsi yang menjamin adanya stabilitas
yang langgeng dan mampu menyatakan untuk melindungi keinginan-keinginannya”
Pandangan yang legalistik dari
sistem negara dan birokrasinya ini terdapat pada hampir sebagian besar
negara-negara Eropa Barat, dan dalam kadar derajatnya yang lebih kecil terdapat
pula pada negara-negara Eropa Timur demikian pula pada negara-negara baru bekas
jajahan dari negara-negara Eropa tersebut.
Inggris Raya dan Amerika Serikat
pada gilirannya mengembangkan sistem administrasi negaranya yang sangat berbeda
satu sama lain dengan sistem di daratan Eropa tersebut. Kedua negara ini tidak
maumengadopsi pandangan mistik Eropa mengenai negara dan meninggalkan tradisi
kodifikasi tata hukumnya. Inggris telah lama mempercayakan tanggungjawab
administrasi pemerintahannya pada cara perwakilan dari para bangsawan dan
orang-orang yang berpindidikan tinggi. Sampai dengan akhir abad ke-18 dan awal
abad ke-19 sebagian besar kaum bangsawan berasal dari tuan tanah di pedesaan (rural-estate).
Baru pada waktu diadakan perombakan pegawai-pegawai pemerintahan di abad ke-19,
maka kemudian hampir sebagian besar administrator berasal dari kaum pedagang (mercantile)
dan klas-klas usahawan di kota-kota. Selanjutnya pada akhir abad ke-19, mereka
telah mulai menerapkan proses seleksi yang berlandaskan pada ujian yang
bersifat kompetitif yang keras darilulusan-lulusan universitas, terutama dai
Oxford dan Cambridge.
Dalam ujian-ujian ini
diajukanbeberapa materi di antaranya hukum administrasi seperti yang terjadi di
daratan Eropa, dan spesialisasi-spesialisasi lainnya yang bertalian secara
langsung dengan administrasi negara yang masih terpusat pada sifat-sifat klasik
dan kemanusiaan. Cara rekruitment untuk memasuki dinas-dinas administrasi
pemerintahan di Inggris ini masih berlangsung dengan perubahan disana-sini,
sampai akhir tahun 1060-an. Sistem ini dirancang untuk memperoleh
administrator-administrator yang generalis, cerdas dan mempunyai prespektif
profesional. Mereka mempelajari administrasi dan segala kegiatan untuk
mengadministrasikan pekerjaan.
Administrasi telah lebih banyak
dipelajari sebagai suatu hal yang bisa meberikan pelayanan terhadap pemberian
saran dan kebijaksanaan kepada menteri, dan sedikti dopelajari sebagai proses
manajemen ke dalam (internal management) dibandingkan dengan sebagian
besar negara-negara lainnya. Pada umumnya administrasi negara di Inggris lebih
bersifat sentralisasi dengan sistem pengawasan yang terpusatkan dalam
Departemen Keuangan.
Administrasi negara di negara-negara
jajahan di Amerika, baik dalam pemerintahan negara bagian, maupun pemerintahan
nasional mulai dengan suatu model yang dikembangkan dari negara induknya.
Administrasi dilakukan oleh para bangsawan yang berada di Selatan dan
dijalankan oleh para bangsawan pedagang dan industriwan di daerah Utara.
Administrasi tidak dipahami sebagai suat jenis aktivitas atau jabatan
yangberbeda dan dapat dipisahkan, dan istilah ini tidak digunakan atau
dicantumkan dalam konstitusi Amerika.
Ada tiga struktur dasar yang
membedakan dengan sistem administrasi di Inggris. Pertama, sistem
federal dari khususnya sistem kekuasaan yang terbatas pada pemerintahan
nasional. Kedua, pemisahan kekuasaan eksekutif dari kekuasaan
legislatif di tingkat pemerintahan nasional, negara bagian dan tingkat
kota. Ketiga, besarnya rasa takut dan tidak percaya atas memusatnya
kekuasaan eksekutif.perasaan ini sebenarnya merupakan salah satu penyebab
Revolusi Amerika.
Perkembangan evolusioner
administrasi negara diuraikan melalui pendekatan tradisional, pendekatan
perilaku, pendekatan pembuatan keputusan (desisional) dan pendekatan ekologis.
Secara khusus, pendekatan tradisional mengungkapkan tentang pengaruh ilmu
politik, sebagai induk administrasi negara, pendekatan rasional dalam
administrasi dan pengaruh Gerakan Manajemen Ilmiah terhadap perkembangan
administrasi negara.
Di antara empat pendekatan yang
diajukan, tidak ada satu pun pendekatan yang lebih unggul daripada
pendekatan-pendekatan yang lain, karena setiap pendekatan berjaya pada sesuatu
masa, di samping kesadaran bahwa setiap pendekatan mempunyai kelebihan dan
kekurangan. Karena administrasi mengandung berbagai macam disiplin, sehingga
cara pendekatan dan metodologi dalam administrasi juga beraneka ragam, maka
administrasi negara merupakan bidang kajian yang dinamis. Selanjutnya sukar
untuk secara khusus menerapkan satu-satunya pendekatan terbaik terhadap aspek
administrasi tertentu. Kiranya lebih bermanfaat untuk mempergunakan keempat
cara pendekatan tersebut sesuai dengan aksentuasi dari sesuatu gejala yang
diamati.
Pengaruh politik terhadap
administrasi negara selalu besar, tidak peduli kapan pun masanya. Hal ini
disebabkan oleh adanya gejala di semua negara yang menunjukkan bahwa setiap
pemerintah disusun di atas tiga cabang pemerintahan (legislatif, eksekutif, dan
yudikatif). Hubungan terus menerus administrasi dengan politik mencerminkan
keberlanjutan hubungan antara lembaga eksekutif dengan lembaga legislatif,
sebagaimana dicerminkan dalam dua tahap pemerintahan, yakni tahap politik dan
tahap administrasi. Jika tahap pertama merupakan tahap perumusan kebijakan,
maka tahap kedua merupakan tahap implementasi kebijakan yang telah ditetapkan
dalam tahap pertama.
Administrasi Negara modern yang dikenal sekarang ini
merupakan produk dari suatu masyarakat feodal yang tumbuh subur di
Negara-negara Eropa. Negara-negara di daratan eropa yang semuanya dikuasai oleh
kaum feodal, bangsawan dan kaum ningrat kerajaan berusaha untuk mengokohkan
sistem pemerintahannya. Dengan semakin tumbuhnya perkembangan masyarakat,
sentralisasi kekuasaan dan pertanggungjawaban dalam pemerintahan monarki menimbulkan
suatu kebutuhan untuk mendapatkan korps administrator yang cakap, penuh
dedikasi, stabil dan integritas.
Sedangkan perkembangan administrasi Negara di
Indonesia telah ada sejak awal kemerdekaan, pada tanggal 11 januari 1800. Yang
meletakkan dasar-dasar administrasi Negara modern di Indonesia adalah Gubernul
Jenderal Daendels. Pola pikir dan pola organisasi kenegaraan Daendels berasal
dari prancis di bawah Kaisar Napoleon, yang sesuai dengan jamannya yaitu
pemerintahan berorientasi militer. Setelah periode pemerintahan diganti oleh
Raffles (1811-1816) jiwa pemerintahan yang semula berjiwa otokratis militer
menjadi demokratis sipil. Raffles adalah pembawa dan penyebar ajaran demokrasi
modern di Indonesia. Oleh karena itu, Raffles meletakkan titik berat sistem
pemerintahannya pada “Village Administration” atau administrasi desa, dan tidak
lagi pada bupati karena dianggap sebagai sumber korupsi dan penyalahgunaan
kekuasaan dan wewenang terhadap rakyat kecil. Sehingga lahirlah “Landrent
System” atau sistem sewa tanah dan berubah sifat menjadi Sistem Pajak Tanah.
Hingga sekarang pajak tanah ini masih diterapkan di Indonsia yang berubah sifat
menjadi sistem pajak tanah dan pada era modern ini berkembang menjadi PBB
(pajak bumi dan bangunan). Kemudian sistem pemerintahannya yang hanya
berorientasi pada administrasi desa telah mengalami perubahan sepanjang masa
sejak 1816 hingga kini adalah sistem pemerintahan dan sistem administrasi
pemerintahan, sistem administrasi keuangan dan sistem peradilan serta sistem
adminitrasi peradilan. Administrasi telah lebih banyak dipelajari sebagai suatu
hal yang bisa memberikan pelayanan terhadap pemberian saran kebijaksanaan
kepada menteri. Dan sedikit dipelajari sebagai proses manajemen ke dalam
(internal management) dalam aplikasinya pada sistem administrasi Negara.
Pola dan sistem pemerintahan administrasi Negara di
Indonesia sekarang jauh lebih maju dan praktis daripada pola dan sistem
pemerintahan pada masa sebelumnya. Hanya saja yang perlu didayaupayakan
sekarang adalah sistem kinerja lembaga serta alat-alat kelengkapan Negara agar
sesuai dengan kebutuhan masyarakat serta peningkatan profesionalitas
setinggi-tingginya, dalam pengertian profesionalitas termasuk:
1. Ethos kerja yang tinggi (moral, etika, semangat)
2. Peningkatan mutu pendidikan, termasuk pendidikan dalam
konteks ilmu administrasi negara modern
3. Pengalaman dan keterampilan yang dikembangkan secara
sistematis
4. Penggunaan peralatan (equipment) yang modern dan
efektif.
2.3 Perkembangan
Paradigma dalam Administrasi Negara
2.3.1 Konsep Paradigma Administrasi Negara
Nicholas Henry merumuskan lima paradigma berdasarkan
pada fokus kepentingannya dan locus dimana secara institusional administrasi
dipraktekkan, yaitu :
1. Paradigma dikotomi antara politik dan administrasi
Negara
Fokus paradigma Dikotomi Politik- Administrasi
(1900-1926) adalah pemisahan urusan politik dari urusan administrasi dalam
fungsi pokok pemerintah, dimana substansi ilmu politik hanya meliputi
masalah-masalah politik, pemerintahan, dan kebijaksanaan, dan substansi
administrasi pada masalah-masalah organisasi, kepegawaian, dan penyusunan
anggaran dalam sistem birokrasi pemerintah. Paradigma Dikotomi
Politik-Administrasi juga mengindikasikan pentingnya manajemen untuk
menyumbangkan analisis ilmiahnya kepada ilmu administrasi, perlunya
administrasi publik menjadi ilmu pengetahuan yang bebas-nilai, dan bahwa misi
ilmu administrasi adalah ekonomis dan efisiensi. Locus politik meliputi
badan-badan legislatif dan yudikatif dengan tugas pokok membuat
kebijaksanaan-kebijaksanaan atau melahirkan keinginan-keinginan negara,
sementara locus administrasi pada badan-badan eksekutif dan tugasnya menyangkut
hal-hal yang berkaitan dengan pelaksanaan kebijaksanaankebijaksanaan tersebut
(Goodnow, 1900:10-11).
2. Paradigma prinsip-prinsip administrasi,
Dalam paradigma Prinsip-Prinsip Administrasi
(1927-1937) fokus dianggap yang terpenting, sementara locus tidak
dipermasalahkan. Administrasi publik dipandang memiliki sifat universal,
artinya dapat diimplementasikan pada semua tatanan administrasi tanpa
mempedulikan kebudayaan, fungsi, lingkungan, misi, atau kerangka institusi.
Prinsip-prinsip dipandang sebagai unsure penting bagi administrasi sebagai
suatu ilmu. Para teoritikus lainnya yang dapat dikategorikan dalam paradigma
ini adalah Willoughby, Henry Fayol, Mary Parker Follet, James Mooney dan Alan
Reiley, Frederick Taylor, serta Luther Gulick dan Lyndall Urwick yang terkenal
dengan prinsip POSDCORB.
3. Paradigma administrasi Negara sebagai ilmu politik.
Fokus utama dari paradigma Administrasi Publik sebagai
Ilmu Politik (1950-1970) adalah kembalinya eksistensi administrasi publik
sebagai bagian ilmu politik karena administrasi publik pada dasarnya mengabdi
kepada kekuasaan dan memiliki kekuasaan penuh untuk melakukan pengabdiannya
dalam membantu penguasa dalam memerintah secara lebih efisien. Locus
administrasi publik pun sudah jelas, yakni lingkungan birokrasi pemerintahan.
Para tokoh yang termasuk paradigma ini, di antaranya Chester Barnard, Herbert
Simon, Allen Schick, Frederick Mosher, Robert Dahl dan Dwight Waldo.
4. Paradigma administrasi Negara sebagai ilmu
administrasi.
Pada paradigma Administrasi Publik Sebagai Ilmu
Administrasi (1956-1970), yang terpenting adalah fokus sedangkan locus bukan
suatu persyaratan. Dengan prinsip ini teknikteknik ilmu manajemen dan teori
organisasi mulai dikembangkan sebagai bagian dari ilmu administrasi publik, dan
seringkali memerlukan keahlian dan spesialisasi. Tetapi dimana dan pada
institusi apa teknik-teknik ini harus diterapkan bukanlah menjadi rumusan
perhatian paradigma ini. Tokoh-tokoh administrasi publik yang dicatat termasuk
dalam paradigma ini, antara lain Keith Henderson, James March dan Herbert
Simon.
5. Paradigma administrasi Negara sebagai ilmu
administrasi Negara.
Paradigma Administrasi Publik Sebagai Ilmu
Administrasi Publik (1970-) merupakan pembaharuan dari paradigma sebelumnya.
Dalam hubungan ini, locus administrasi bukan hanya terbatas pada bidang administrasi,
tetapi mulai merambah kepada teori organisasi. Fokus administrasi pun
berkembang kepada teori administrasi yang lebih mempersoalkan bagaimana
seharusnya suatu organisasi berjalan, orang-orang berperilaku, dan
keputusankeputusan diambil. Pada paradigma ini, administrasi publik kemudian
banyak berorientasi kepada teori dan teknikteknik administrasi, manajemen
modern, politik-ekonomi, serta proses pembuatan, analisis, dan metode
pengukuran hasilhasil kebijaksanaan publik. Tokoh-tokoh administrasi publik
yang dapat dikategorikan dalam paradigma ini antara lain Charles Lindbloom,
Gerald Caiden, Louis Gawthrop, D.H. Rosenbloom, R.T Golembewski, Frederick
Mosher, dan Amitai Etzioni.
Mustopadidjaja Seorang pakar administrasi publik
Indonesia, Mustopadidjaja, mencoba merumuskan empat paradigma yang ‘lebih
merupakan teori dasar’ atau ‘dasar-dasar bangunan teori mengungkapkan
konsep-konsep pokok, khususnya yang terdapat dalam paradigma-paradigma yang
dirumuskan Henry dan Frederickson tersebut di atas. Keempat paradigma tersebut
adalah:
1. Struktural-Fungsional Fokus kajian dan
permasalahan Paradigma Struktural-Fungsional adalah disain dan fungsi
organisasi, yakni melihat birokrasi sebagai suatu organisasi yang disusun
secara rasional berdasarkan pembagian kerja dan fungsi-fungsi spesifik menurut
hierarki serta kewenangan tertentu, kemudian dijalankan oleh tenaga-tenaga yang
sesuai dengan tugas dan fungsinya. Bila dihubungkan dengan universalisme
prinsip-prinsip administrasi dan ilmu administrasi yang bebas-nilai, paradigma
ini menganggap bahwa melalui model birokrasi tersebut, maka nilai-nilai
efisiensi, ekonomi, efektivitas dan produktivitas dari paradigma ini akan dapat
dicapai.
2. Perilaku Paradigma Birokrasi Klasik dari
Frederickson dan Paradigma Prinsip- Prinsip Administrasi dari Henry dapat
digolongkan dalam kelompok ini karena paradigma-paradigma tersebut lebih
melihat organisasi sebagai suatu sistem tertutup, yang secara eksplisit tidak
memperhatikan hubungan dengan organisasi lain maupun dengan lingkungan sosial
ekonomi yang lebih luas.
3. Sistemik, dan Dalam paradigma Perilaku pengamatan
dan analisis difokuskan pada dimensi kemanusiaan dalam organisasi dan
manajemen, sebagai reaksi terhadap pandangan strukturalfungsional yang
mengabaikan aspekaspek tersebut, dan memperhitungkan beberapa aspek perilaku
manusia dalam konteks kehidupan berorganisasi. Berbagai teori dalam
paradigmaparadigma Birokrasi Neo-Klasik, Model kelembagaan dan Hubung an
Kemanusiaan dari Frederickson termasuk dalam kelompok ini, dan demikian juga
Paradigma Administrasi publik Sebagai Ilmu Administrasi dari Nicholas Henry.
Disamping itu, berbagai pendekatan yang berfokus pada proses pembelajaran
(learning paradigm) dapat dikelompokkan ke dalam paradigma ini. Sementara itu, Paradigma
Sistemik berfokus pada pendekatan menyeluruh dan terpadu dimensi–dimensi
administrasi dan menempatkan birokrasi sebagai suatu sistem organisasi dan
manajemen yang secara dinamik mengadakan interaksi dengan lingkungan internal
(inner system) maupun eksternal (outer system atau contingencial). Pilar
bangunan Paradigma Sistemik ini dibangun dari berbagai teori dan pendekatan
dalam Paradigma Struktural-Fungsional dan Paradigma Perilaku. Disamping itu,
paradigma ini menganut adanya nilai-nilai keserasian, keseimbangan,
kontinuitas, dan optimalisasi pencapaian tujuan.
4. Kebijakan Publik Paradigma Kajian Kebijakan
Publik memfokuskan perhatian dan analisisnya pada keseluruhan substansi dari
proses kebijakan, mulai dari perumusan kebijakan, pelaksanaan, pengawasan, dan
penilaian kinerja yang harus dilakukan sisten administrasi publik, baik dalam
konteks substansi permasalahan di dalam sistem itu sendiri (inner system),
maupun dalam interaksinya secara dinamis dan contingencial dengan lingkungan
eksternalnya. Locus dari paradigma ini adalah sistem administrasi publik dalam
berbagai unsur, satuan, posisi, peran dan dinamikanya.
2.3.2 Paradigma Administrasi Negara
George Frederickson merumuskan enam model
paradigma administrasi publik yang duraikan dari sudut teori, dalam arti
pengetahuan yang positif atau yang punya dasar empiris. Kelima model tersebut
adalah:
1. Paradigma birokrasi klasik
pengamatan model Birokrasi Klasik adalah struktur
(disain) organisasi dan fungsi atau prinsip-prinsip manajemen, sedangkan
locusnya adalah berbagai bentuk organisasi pemerintah dan bisnis. Nilai pokok
yang ingin diwujudkan dalam paradigma ini adalah efisiensi, efektivitas,
ekonomi dan rasionalitas. Tokoh administrasi yang dapat dikategorikan dalam
paradigma ini antara lain Frederick taylor, Max Weber, Woodrow Wilson, serta L.
Gulick dan L. Urwick.
2. Paradigma birokrasi neo-klasik
Model Birokrasi Neo-Klasik sebenarnya mengandung nilai
yang serupa dengan paradigma pertama, tetapi dengan fokus dan locus berbeda.
Fokus dari paradigma ini adalah proses pengambilan keputusan yang dimabil
birokrasi pemerintahan dengan perhatian khusus kepada penerapan ilmu perilaku,
ilmu manajemen, analisa sistem, dana penelitian operasinya, sedangkan locusnya
adalah ‘keputusan’ yang dihasilkan. Tokoh-tokoh yang dapat dimasukkan ke dalam
paradigma ini antara lain Herbert Simon, William Gore, Richard Cuert dan James
March.
3. Paradigma kelembagaan
Model Kelembagaan berfokus pada pemahaman tentang
perilaku birokrasi yang dipandang juga sebagai suatu organisasi yang kompleks.
Masalahmasalah efisiensi, efektivitas, dan produktivitas organisasi kurang
mendapat perhatian. Salah satu perilaku birokrasi yang diungkapkan dalam
paradigma ini adalah proses pengambi lan keputusan yang inkremental dan
gradual, yang dipandang sebagai satu-satunya cara untuk memadukan kemampuan dan
keahlian birokrasi dengan preferensi kebijaksanaan dan berbagai kemungkinan
bias dari pejabat politis. Tokoh-tokoh dalam paradigma ini antara lain Charles
Linblom, J. Thomson, Michel Crozier, Anthony Downs, Frederick Mosher, dan
Amitai Etzioni.
4. Paradigma hubungan kemanusiaan
Di pihak lain, model Hubungan Antar Manusia berfokus
pada dimensidimensi hubungan antar-manusia dan aspek sosial-psikologi dalam tiap
bentuk organisasi dan birokrasi. Sementara nilai-nilai yang mendasari adalah
partisipasi dalam pengambilan keputusan, minimasi perbedaan dalam status dan
hubungan antarpribadi, keterbukaan, aktualisasi diri, dan optimasi kepuasan.
Menurut Mustopadidjaja, akhir-akhir ini berkembang pula paradigma pembelajaran
(learning paradigm) yang dapat dimasukkan ke dalam kelompok ini dan
berorientasi pada peningkatan kapasitas individu dan institusi. Tokoh-tokoh
dalam paradigma ini antara lain Rennis Likert, Daniel Katz dan Robert Kahn,
Warren Bennis, dan Eugene McGregor.
5. Paradigma pilihan masyarakat umum
Selanjutnya dalam Model Pilihan Publik dinyatakan,
bahwa administrasi publik tak lepas dari politik, sedangkan locusnya adalah
pilihan-pilihan publik dalam pelayanan barang dan jasa yang harus diberikan
oleh berbagai bentuk dan jenis organisasi. “Bentuk ekonomi politik modern,”
kata Frederickson, “didasarkan pada pilihan pendekatan antara ekonomi pasar
bebas dan pilihan publik.” Tokohtokoh dalam paradigma ini adalah Vincent
Orstrom, James Buchanan, Michel Olson, dan George Tullock.
6. Paradigma administrasi Negara baru
Melalui konsep Administrasi Publik Baru, Frederickson
berupaya untuk mengorganisasikan, mendisaian, dan membuat organisasi dapat berjalan
ke arah perwujudan nilai-nilai kemanusiaan secara maksimal melalui pengembangan
sistem desentralisasi dan pembentukan organisasi-organisasi yang responsif dan
partisipatif, serta dapat memberikan jasa yang diperlukan. Karakteristik
Administrasi Publik Baru, menurut Frederickson, adalah menolak anggapan bahwa
teori-teori administrasi dan para praktisi bersifat netral atau bebas-nilai,
sementara nilai-nilai yang dianut dalam berbagai paradigma relevan walaupun
terkadang saling bertentangan satu sama lain.
2.4 Model
Administrasi Publik pada Era Pembangunan
Tiga model analisis yang dikenal dengan paradigma yang
telah didiskusikan di atas menawarkan pemikiran-pemikiran yang sangat
bermanfaat bagi pemecahan masalah-masalah empirik, baik organisasional maupun
lingkungan, yang muncul dalam setiap praktek administrasi publik. Akan tetapi
dalam kenyataannya, ketiga paradigma tersebut, dan paradigmaparadigma
administrasi publik lainnya, tampaknya belum dapat membantu memecahkan
permasalahan-permasalahan sebagai-mana diharapkan terbukti dengan masih
banyaknya negara, terutama negara-negara berkembang, yang belum berhasil
melaksanakan fungsi umum pemerintahan secara efektif dan efisien.
Berbagai dimensi administrasi dan kompleksitas
permasalahan pembangunan yang tumbul dalam rangka penyelenggaraan berbagai
tugas pemerintahan di negara-negara berkembang tersebut secara sistemik
berhubungan erat satu sama lain, dan dapat disederhanakan dalam
komponenkomponen permasalahan administrasi sebagai berikut: kelembagaan, organisasi,
sumber daya manusia, manajemen dan sarana dan prasarana administrasi
(Mustopadidjaja, ibid). Apabila dihubungkan dengan inti dari ilmu administrasi
publik ketika pertama kali dikembangkan oleh Woodrow Wilson bahwa tujuan utama
eksistensinya adalah untuk melayani kepentingan masyarakat pada umumnya, maka
tampaknya diperlukan paradigma-paradigma baru yang diharapkan dapat mengatasi
permasalahan administrasi di negaranegara berkembang dan berorientasi pada
‘administrasi pemerintahan yang dilaksanakan oleh aparatur pemerintah untuk
kepentingan masyarakat.’ Paradigma-paradigma baru tersebut muncul sesudah
berakhirnya era paradigma Henry pada tahun 1970, dan berbarengan dengan Era
Pembangunan yang dicanangkan oleh United Nation Organization (Thoha, ibid. Apabila
dilihat dari sudut pandang administrasi publik, maka paradigma-pradigma baru
yang muncul dapat disebut paradigmapradigma pembangunan. Paradigma-paradigma
tersebut, antara lain, adalah ‘Reinventing Government’, “Banishing
Bureaucracy’, dan ‘Good Governance’.
1. Konsep Reinventing Government
Menurut Osborne dan Gaebler, untuk memperbaiki
kinerjanya pemerintah berperan sebagai katalisator, yang tidak melaksanakan
sendiri pembangunan, tetapi cukup mengendalikan sumber-sumber yang ada di
masyarakat dengan mengoptimalkan pembangunan dana dan daya sesuai kepentingan
publik. Di samping itu, pemerintah harus memberdayakan masyarakat agar lebih
berperan serta dalam pembangunan melalui organisasiorganisasi kemasyarakatan
seperti Koperasi, LSM, dan sebagainya. Dalam bidang pelayanan publik,
pemerintah harus menciptakan kompetisi agar sektor usaha swasta dan pemerintah
bersaing, dan terpaksa bekerja lebih profesional dan efisien. Pemerintah pun
harus melakukan aktivitas yang menekankan kepada pencapaian apa yang merupakan
“misinya” daripada menekankan pda peraturan-peraturan.
2. Konsep Banishing Bureaucracy
baru lainnya menurut David Osborne dan Peter Plastrik
di dalam buku “Banishing Bureaucracy” (1996) adalah membahas cara penerapan
strategi untuk mentransformasikan sistem dari organisasi birokrasi ke
organisasi wirausaha, dengan memberikan know how untuk aplikasinya melalui 5
strategi inovatif. Kelima strategi tersebut adalah (1) Center Strategy, (2)
Consequency Strategy, (3) Customer Strategy, (4) Control Strategy, dan (5)
Cultural Strategy. Perbedaan antara kedua paradigma tersebut adalah Reinventing
Government menawarkan reinvensi dengan karakteristik yang berorientasi
wirausaha secara deskriptif, sedangkan Banishing Bureaucracy membahas cara penciptaan
strategi untuk mentransformasikan sistem organisasi birokrasi ke organisasi
wirausaha secara preskriptif.
3. Konsep Good Governance
Good Governance merupakan suatu paradigma baru yang
berorientasi kepada hubungan yang sinergik dan konstruktif di antara
pemerintah, sector swasta dan masyarakat, dalam rangka melaksanakan
penyelenggaraan pemerintahan yang baik dan bertanggungjawab. UNDP merumuskan 9
karakteristik Good Governance. Kesembilan karakteristik tersebut adalah (1)
Participation, (2) Rule of Law, (3) Transparency, (4) Responsiveness, (5)
Consensus Orientation, (6) Equity, (7) Effectiveness and Efficiency, (8)
Accountabilty, dan (9) Strategic Vision.
Menurut konsep ini, untuk mewujudkan suatu
Kepemerintahan yang Baik, pemerintah harus member kesempatan kepada setiap
warga negara untuk berpartisipasi secara konstruktif dalam pembuatan keputusan.
Kerangka hukum negara pun harus adil dan diberlakukan kepada setiap
warganegara, terutama yang berkaitan dengan hak asasi manusia.
Pada hakekatnya masalah-masalah tersebut secara
sistemik bertalian erat satu sama lain, dan dapat disederhanakan sebagai
permasalahan kelembagaan, organisasi, sumber daya manusia,manajemen, serta
sarana dan prasarana administrasi. Pembangunan administrasi publik pada hakekatnya
terarah pada upaya mengatasi berbagai permasalahan empirik yang dihadapi sistem
administrasi publik, baik yang muncul dalam sistem internal maupun dalam
kaitannya dengan interaksi sistem dengan lingkungannya. Diharapkan, berbagai
paradigma tersebut dapat membantu memecahkan permasalahan-permasalahan empirik
tersebut sehingga proses pencapaian tujuan dalam penyelenggaraan fungsi umum
pemerintahan yang harus dilakukan dapat berlangsung secara efektif dan efisien.
2.5 Masalah Focus dan Locus dari Administrasi
Negara
1. Menurut pendapat Maurice Spiers
pendekatan-pendekatan dalam administrasi negara adalah pendekatan matematik,
sumber daya manusia dan sumber daya umum. Sedang menurut Robert Presthus adalah
pendekatan institusional, struktural, perilaku, dan pasca perilaku. Bagi Thomas
J. Davy pendekatan yang dimaksud terdiri dari manajerial, psikologis, politis,
dan sosiologis.
2. Pendekatan
proses administrasi memandang administrasi sebagai satu proses kerja yang
dipergunakan untuk mencapai tujuan-tujuan organisasi. Pendekatan ini juga
seringkali disebut dengan pendekatan operasional.
3. Pendekatan
empiris hendak melakukan generalisasi atas kasus-kasus yang telah terjadi
secara sukses. Pendekatan ini seringkali disebut juga sebagai pendekatan pengalaman.
4. Pendekatan
perilaku manusia memandang bahwa pencapaian tujuan-tujuan organisasi tergantung
pada penerapan prinsip-prinsip psikologis. Pendekatan ini telah menampilkan
aspek manusia sebagai elemen utama administrasi.
5. Pendekatan
sistem sosial memandang administrasi sebagai satu sistem sosial. Kesadaran akan
berbagai keterbatasan organisasi dapat menumbuhkan semangat kerjasama di antara
anggota-anggota organisasi.
6. Pendekatan
matematik memandang model-model matematik dapat diterapkan pada administrasi,
dengan tujuan untuk melakukan peramalan.
7. Pendekatan teori
keputusan memandang pembuatan keputusan sebagai fungsi utama administrasi.
Semula pendekatan ini hanya membahas dan melakukan evaluasi terhadap
alternatif-alternatif dalam memilih tindakan yang akan diambil, tetapi kemudian
pendekatan ini juga mengkaji semua aktivitas organisasi.
2.6 Pandangan Neo-Ortodoksi Administrasi
Negara
Pandangan modern terhadap
administrasi negara atau yang dapat disebut dengan neo-ortodoksi adalah
dilandasi oleh kenyataan bahwa berdasarkan pendekatan perilaku, banyak hal yang
terjadi dan sulit terkendalikan. Bahwa meskipun pendekatan kemanusiaan ataupun
perilaku individu diterapkan dalam birokrasi pemerintahan, banyak hal yang bisa
dilakukan melalui struktur hirarki, prosedur kerja maupun nilai-nilai normatif
administrasi. Yang diperlukan untuk menghindarkan segala ekses dampak yang
terjadi adalah dengan melakukan peninjauan kembali terhadap sistem dan struktur
yang selama ini dikembangkan. Dengan perkataan lain diperlukan suatu perubahan
yang bersifat restrukturisasi sistem birokrasi.
Tantangan yang dihadapi berdasarkan
pemikiran para pakar neo ortodoksi administrasi negara ini (Fredericson, 1984;
Nigro dan Nigro, 1980; Shafritz, 1997) antara lain berkaitan dengan
kemampuan birokrasi menghadapi kompleksitas masyarakat. Termasuk dalam hal ini
adalah kemampuan birokrasi pusat untuk mengakomodasi tuntutan kompleksitas
permasalahan yang dihadapi oleh birokrasi regionel maupun lokal dalam
hubungannya dengan klien atau masyarakat yang dilayani.
Dengan demikian, permasalahan yang
sebenarnya dihadapi adalah bagaimana melakukan perubahan sistem birokrasi agar
memiliki daya tanggap yang lebih baik dan lebih efektif. Lebih daripada itu,
dalam rangka tetap mengakomodasikan pendekatan kemanusiaan dalam praktek
birokrasi penyelenggaraan pemerintahan, permasalahannya adalah bagaimana
merancang suatu sistem birokrasi yang mampu memfasilitasi peran-serta setiap
individu birokrat maupun masyarakat untuk tercapainya tujuan bersama secara
efektif.
Menurut pandangan noe-otokrasi ini,
sistem administrasi negara baik pada tingkat nasional maupun pada tingkat
daerah pada periode tahun 1980-an dan 1990-an, dihadapkan pada berbagai krisis
baik yang datang dari luar maupun dari dalam lingkungan sistem itu sendiri.
Krisis yang datangnya dari luar antara lain berupa krisis ekonomi yang
berkepanjangan, bukan saja di negara-negara dunia ketiga tetapi juga
dinegara-negara maju.
Efek globalisasi ekonomi yang
melanda dunia internasional antara lain berkaitan dengan resesi ekonomi global
dan krisis moneter yang dalam banyak hal telah menghambat laju pertumbuhan
ekonomi berbagai negara, bahkan menimbulkan efek kontraksi yang sangat tajam
sebagaimana terjadi di Indonesia pada tahun 1997/1998. Kondisi yang demikian
dalam skala mikro telah berdampak menurunkan kapasitas keuangan pemerintah baik
yang diperoleh dari pajak dalam negeri maupun berbagai retribusi dan
sumber-sumber penrimaan lainnya; akibat menurunnya kemampuan penerimaan masyarakat
sejalan dengan menurunnya laju pertumbuhan ekonomi.
Pemerintah dibanyak negara kemudian
terdorong untuk melakukan efisiensi dengan memperketat pengeluaran anggaran di
satu sisi, tetapi disisi lain pemerintah dituntut untuk meningkatkan
efektivitas penyelenggaraan program-program social safety net untuk
mempertahankan tingkat kesejahteraan masyarakat. Kondisi ini kemudian mendorong
pemerintah, termasuk pemerintah daerah dimanapun untuk melakukan rasionalisasi
dan retrukturisasi kelembagaan agar mampu mengatasi krisis yang dihadapi.
Di lain pihak, permasalahan internal
yang dihadapi pemerintah sebagaimana telah diuraikan adalah kenyataan bahwa di
berbagai negara dirasakan adanya penurunan kualitas, bahkan kualitas pelayanan
kepada masyarakat. Hal ini terjadi dalam banyak hal bukan karena rendahnya
tingkat kemampuan aparatur, akan tetapi justru terjadi sebagai akibat telah
semakin meningkatnya orde kebutuhan serta tuntutan jati diri masyarakat atas
layanan pemerintah.
Sementara kapasitas pelayanan umum oleh
pemerintah terlalu lamban untuk mampu beradaptasi dengan berbagai ragam
kebutuhan tersebut. Apalagi dalam rejim pemerintahan yang sentralistik, bahkan
dalam sistem pemerintahan yang desentralistik, sekalipun ternyata kemampuan
pacu peningkatan kualitas pelayanan publik oleh pemerintah dirasakan masih
rendah. Akibatnya, di banyak negara mulai muncuk berbagai prakarsa masyarakat
untuk keluar dari atau berhenti sebagai pengguna jasa pemerintah dan beralih ke
jasa-jasa publik yang ditawarkan oleh swasta maupun lembaga-lembaga masyarakat
ataupun komunitas sendiri.
Masyarakat misalnya telah mulai
beralih dari orientasi menggantungkan perlindungan keamanan kepada polisi
pemerintah dengan membentuk satuan-satuan pengamanan swakarsa 9satpam) atau pengawal-pengawal
pribadi. Mereka juga keluar dari lingkungan pemukiman masyarakat di
perkampungan kota yang kumuh dengan kualitas infrastruktur sosial yang tidak
lagi sesuai dengan selera mereka, kemudian pindah bermukim di kompleks-kompleks
perumahan eksklusif dengan infrastruktur lingkungan yang jauh lebih baik, dalam
lingkungan tertutup yang dijaga ketat oleh Satpam sendiri.
Mereka memilih untuk menambah
pengeluaran ekstra agar mendapatkan layanan publik yang lebih baik daripada
yang bisa diberikan oleh pemerintah. Mereka memilih membayar sendiri layanan
pengamanan, pengangkutan sampah, pertamanan, fasilitas jalan dan penerangan
umum, drainase dan sanitasi lingkungan, dan berbagai jasa lainnya dalam satu
paket dengan keberadaan mereka dilingkungan perumahan tersebut. Mereka bahkan
memilih untuk menyekolahkan anak-anak mereka tidak kesekolah negeri bahkan
kalau perlu keluar negeri, termasuk penggunaan layanan kesehatan yang dikelola
oleh swasta.
Fenomena masyarakat yang
disebut oleh Shafritz (1997) sebagai fenomena kemunculan feodalisme modern
tersebut pada hakekatnya merupakan kecenderungan perkembangan pilihan-pilihan
masyarakat (people’s choices) terhadap berbagai jenis layanan publik yang mampu
memenuhi tuntutan aspirasi mereka. Jadi yang terjadi disini sebenarnya bukan
merupakan akibat dari ketidakmampuan atau rendahnya kualitas aparatur, yang
tidak mampu menciptakan kualitas pelayanan yang diharapkan; melainkan adalah
sistem penyelenggaraan administrasi publik itu sendiri yang rancangannya tidak
memungkinkan aparatur untuk secara tanggap melakukan adaptasi terhadap
perubahan lingkungan strategisnya.
Mengingat hal tersebut para pemikir
neo-ortodoksi administrasi negara menilai perlunya penataan ulang sistem-sistem
dan struktur kelembagaan yang berlaku dalam pemerintahan. Diperlukan pemikiran
kembali mengenai fungsi-fungsi serta peranan pemerintah dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara (Rethinking Government), bahkan
diperlukan invensi-invensi baru dalam sistem dan praktek penyelenggaraan
pelayanan publik oleh pemerintahan (Reinventing Government)
(Frederickson, 1984; Gaebler dan Osborne, 1992; Gray, 1994; Shafritz, 1997;
World Bank, 1999/2000).
Bahkan sebagian mengarahkan agar
pemerintah sama sekali keluar sama sekali dari “bisnis” penyelenggaraan publik
tertentu dan menyerahkannya kepada sektor swasta untuk menyelenggarakannya
(Savas, 1987). Disisi lain, para pakar juga mempertimbangkan agar dalam
penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka pelayanan publik, terdapat
keseimbangan dan kesetaraan peran antara pemerintah, swasta, dan masyarakat (Civil
Society) berdasarkan paradigma Governance (bukan government) sehingga
terdapat sinergi dan harmonisasi dalam pencapaian tujuan bersama meningkatkan
kualitas hidup dan penghidupan masyarakat (UNDP, 1995 dan 1999, Kooiman, 1993).
Dari berbagai rekomendasi tersebut
dapat ditarik kesimpulan bahwa tesis yang mendasarinya adalah perubahan
organisasi melalui perubahan struktur-struktur organisasi termasuk
sistem-sistem yang melandasi beroperasinya administrasi negara. Hal ini menurut
Frederickson (1984 : 121) didasari oleh anggapan bahwa : “Adalah lebih
gampang mengubah kerangka organisasi, dan karenanya juga aturan permainan
organisasi, ketimbang mengubah orang-orangnya; dan dengan mengubah kerangkadan
aturan-aturannya kita bisa meningkatkan potensi untuk mengubah orang-orang itu”.
Anggapan dasar yang sama juga dikemukakan oleh Ted Gaebler dan David Osborne
(1992) bahwa salah satu dari lima keyakinan dasar yang melandasi analisis
mereka adalah : “keyakinan bahwa para pegawai pemerintah (birokrat) bukanlah
sumber permasalahan, tetapi sistem-sistem kerja dimana mereka harus bekerja
itulah sumber permasalahan yang sebenarnya”
No comments:
Post a Comment