PENDAHULUAN
A. Definisi
Faringitis adalah inflamasi atau infeksi dari membran mukosa
faring atau dapat juga tonsilopalatina. Faringitis akut biasanya
merupakan bagian dari infeksi akut orofaring yaitu tonsilofaringitis
akut atau bagian dari influenza (rinofaringitis) (Departemen
Kesehatan, 2007). Faringitis akut adalah infeksi pada faring yang
disebabkan oleh virus atau bakteri, yang ditandai oleh adanya nyeri
tenggorokan, faring eksudat dan hiperemis, demam, pembesaran
kelenjar getah bening leher dan malaise (Vincent, 2004).
B. Etiologi
Faringitis merupakan peradangan dinding faring yang disebabkan
oleh virus (40-60%), bakteri (5-40%), alergi, trauma, iritan, dan
lain-lain (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2013).
Faringitis bisa disebabkan oleh virus maupun bakteri.
- Virus yaitu Rhinovirus, Adenovirus, Parainfluenza,
Coxsackievirus, Epstein –Barr virus, Herpes virus.
- Bakteri yaitu, Streptococcus ß hemolyticus group A, Chlamydia,
Corynebacterium diphtheriae, Hemophilus influenzae, Neisseria
gonorrhoeae.
- Jamur yaitu Candida jarang terjadi kecuali pada penderita
imunokompromis yaitu mereka dengan HIV dan AIDS, Iritasi
makanan yang merangsang sering merupakan faktor pencetus atau
yang memperberat (Departemen Kesehatan, 2007).
C. Faktor Risiko
Faktor risiko lain penyebab faringitis akut yaitu udara yang dingin,
turunnya daya tahan tubuh yang disebabkan infeksi virus influenza,
konsumsi makanan yang kurang gizi, konsumsi alkohol yang
berlebihan, merokok dan seseorang yang tinggal di lingkungan kita
yang menderita sakit tenggorokan atau demam (Gore, 2013).
D. Epidemiologi
Setiap tahunnya ± 40 juta orang mengunjungi pusat pelayanan
kesehatan karena faringitis. Anak-anak dan orang dewasa
umumnya mengalami 3-5 kali infeksi virus pada saluran
pernafasan atas termasuk faringitis (Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia, 2013). Frekuensi munculnya faringitis lebih
sering pada populasi anak-anak. Kira-kira 15-30% kasus faringitis
pada anak-anak usia sekolah dan 10% kasus faringitis pada orang
dewasa. Biasanya terjadi pada musim dingin yaitu akibat dari
infeksi Streptococcus ß hemolyticus group A. Faringitis jarang
terjadi pada anak-anak kurang dari tiga tahun (Acerra, 2010).
1. Klasifikasi Faringitis
2. Faringitis Akut
a. Faringitis viral
Dapat disebabkan oleh Rinovirus, Adenovirus, Epstein
Barr Virus (EBV), Virus influenza, Coxsachievirus,
Cytomegalovirus dan lain-lain. Gejala dan tanda
biasanya terdapat demam disertai rinorea, mual, nyeri
tenggorok, sulit menelan. Pada pemeriksaan tampak
faring dan tonsil hiperemis. Virus influenza,
Coxsachievirus dan Cytomegalovirus tidak menghasilkan
eksudat. Coxsachievirus dapat menimbulkan lesi
vesikular di orofaring dan lesi kulit berupa
maculopapular rash. Pada adenovirus juga menimbulkan
gejala konjungtivitis terutama pada anak. Epstein bar
virus menyebabkan faringitis yang disertai produksi
eksudat pada faring yang banyak. Terdapat pembesaran
kelenjar limfa di seluruh tubuh terutama retroservikal
dan hepatosplenomegali. Faringitis yang disebabkan
HIV-1 menimbulkan keluhan nyeri tenggorok, nyeri
menelan, mual dan demam. Pada pemeriksaan tampak
faring hiperemis, terdapat eksudat, limfadenopati akut di
leher dan pasien tampak lemah.
b. Faringitis bakterial
Infeksi Streptococcus ß hemolyticus group A merupakan
penyebab faringitis akut pada orang dewasa (15%) dan
pada anak (30%). Gejala dan tanda biasanya penderita
mengeluhkan nyeri kepala yang hebat, muntah, kadangkadang disertai demam dengan suhu yang tinggi, jarang
disertai batuk. Pada pemeriksaan tampak tonsil
membesar, faring dan tonsil hiperemis dan terdapat
eksudat dipermukaannya. Beberapa hari kemudian
timbul bercak petechiae pada palatum dan faring.
Kelenjar limfa leher anterior membesar, kenyal dan nyeri
apabila ada penekanan. Faringitis akibat infeksi bakteri
Streptococcus ß hemolyticus group A dapat diperkirakan
dengan menggunakan Centor criteria, yaitu :
Demam
Anterior Cervical lymphadenopathy
Eksudat tonsil
Tidak adanya batuk
Tiap kriteria ini bila dijumpai di beri skor satu. Bila skor
0-1 maka pasien tidak mengalami faringitis akibat
infeksi Streptococcus ß hemolyticus group A, bila skor14
1-3 maka pasien memiliki kemungkian 40% terinfeksi
Streptococcus ß hemolyticus group A dan bila skor empat
pasien memiliki kemungkinan 50% terinfeksi
Streptococcus ß hemolyticus group A (Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia, 2014).
c. Faringitis fungal
Candida dapat tumbuh di mukosa rongga mulut dan
faring. Gejala dan tanda biasanya terdapat keluhan nyeri
tenggorok dan nyeri menelan. Pada pemeriksaan tampak
plak putih di orofaring dan mukosa faring lainnya
hiperemis. Pembiakan jamur ini dilakukan dalam agar
sabouroud dextrosa.
d. Faringitis gonorea
Hanya terdapat pada pasien yang melakukan kontak
orogenital
C. Faringitis Kronik
a. Faringitis kronik hiperplastik
Pada faringitis kronik hiperplastik terjadi perubahan
mukosa dinding posterior faring. Tampak kelenjar limfa
di bawah mukosa faring dan lateral hiperplasi. Pada
pemeriksaan tampak mukosa dinding posterior tidak rata,
bergranular. Gejala dan tanda biasanya pasien mengeluh
mula-mula tenggorok kering dan gatal dan akhirnya
batuk yang bereak.
b. Faringitis kronik atrofi
Faringitis kronik atrofi sering timbul bersamaan dengan
rhinitis atrofi. Pada rhinitis atrofi, udara pernafasan tidak
diatur suhu serta kelembapannya sehingga menimbulkan
rangsangan serta infeksi pada faring. Gejala dan tanda
biasanya pasien mengeluhkan tenggorokan kering dan
tebal serta mulut berbau. Pada pemeriksaan tampak
mukosa faring ditutupi oleh lendir yang kental dan bila
diangkat tampak mukosa kering.
D. Faringitis Spesifik
a. Faringitis tuberkulosis
Merupakan proses sekunder dari tuberkulosis paru. Pada
infeksi kuman tahan asam jenis bovinum dapat timbul
tuberkulosis faring primer. Cara infeksi eksogen yaitu
kontak dengan sputum yang mengandung kuman atau
inhalasi kuman melalui udara. Cara infeksi endogen
yaitu penyebaran melalui darah pada tuberkulosis
miliaris. Bila infeksi timbul secara hematogen maka
tonsil dapat terkena pada kedua sisi dan lesi sering
ditemukan pada dinding posterior faring, arkus faring
anterior, dinding lateral hipofaring, palatum mole dan
palatum durum. Kelenjar regional leher membengkak,
saat ini penyebaraan secara limfogen. Gejala dan tanda
biasanya pasien dalam keadaan umum yang buruk karena
anoreksi dan odinofagia. Pasien mengeluh nyeri yang
hebat di tenggorok, nyeri di telinga atau otalgia serta
pembesaran kelenjar limfa servikal.
b. Faringitis luetika
Treponema pallidum (Syphilis) dapat menimbulkan
infeksi di daerah faring, seperti juga penyakit lues di
organ lain. Gambaran klinik tergantung stadium
penyakitnya. Kelainan stadium primer terdapat pada
lidah, palatum mole, tonsil dan dinding posterior faring
berbentuk bercak keputihan. Apabila infeksi terus
berlangsung akan timbul ulkus pada daerah faring seperti
ulkus pada genitalia yaitu tidak nyeri dan didapatkan
pula pembesaran kelenjar mandibula yang tidak nyeri
tekan. Kelainan stadium sekunder jarang ditemukan,
namun dapat terjadi eritema pada dinding faring yang
menjalar ke arah laring. Kelainan stadium tersier terdapat
pada tonsil dan palatum, jarang ditemukan pada dinding
posterior faring. Pada stadium tersier biasanya terdapat
guma, guma pada dinding posterior faring dapat meluas
ke vertebra servikal dan apabila pecah akan
menyebabkan kematian. Guma yang terdapat di palatum
mole, apabila sembuh akan membentuk jaringan parut
yang dapat menimbulkan gangguan fungsi palatum
secara permanen. Diagnosis dilakukan dengan
pemeriksaan serologik, terapi penisilin dengan dosis
tinggi merupakan pilihan utama untuk menyembuhkan
nya (Rusmarjonno dan hermani, 2007).
A. Patofisiologi
Pada faringitis yang disebabkan infeksi, bakteri ataupun virus dapat
secara langsung menginvasi mukosa faring dan akan menyebabkan
respon inflamasi lokal. Kuman akan menginfiltrasi lapisan epitel,
lalu akan mengikis epitel sehingga jaringan limfoid superfisial
bereaksi dan akan terjadi pembendungan radang dengan infiltrasi
leukosit polimorfonuklear. Pada stadium awal terdapat hiperemis,
kemudian edema dan sekresi yang meningkat. Pada awalnya
eksudat bersifat serosa tapi menjadi menebal dan kemudian
cenderung menjadi kering dan dapat melekat pada dinding faring.
Dengan keadaan hiperemis, pembuluh darah dinding faring akan
melebar. Bentuk sumbatan yang berwarna kuning, putih atau
abu-abu akan didapatkan di dalam folikel atau jaringan limfoid.
Tampak bahwa folikel limfoid dan bercak-bercak pada dinding
faring posterior atau yang terletak lebih ke lateral akan menjadi
meradang dan membengkak. Virus-virus seperti Rhinovirus dan
Coronavirus dapat menyebabkan iritasi sekunder pada mukosa
faring akibat sekresi nasal (Bailey, 2006; Adam, 2009).
Infeksi streptococcal memiliki karakteristik khusus yaitu invasi
lokal dan pelepasan extracelullar toxins dan protease yang dapat
menyebabkan kerusakan jaringan yang hebat karena fragmen M
protein dari Streptococcus ß hemolyticus group A memiliki struktur
yang sama dengan sarkolema pada miokard dan dihubungkan
dengan demam reumatik dan kerusakan katub jantung. Selain itu
juga dapat menyebabkan glomerulonefritis akut karena fungsi
glomerulus terganggu akibat terbentuknya kompleks antigenantibodi (Bailey, 2006; Adam, 2009).
Patofisiologi Faringitis Akut
Sumber: (Bailey, 2006; Adam, 2009).
Nyeri
Gangguan
nutrisi
FARINGITIS
Resiko defisit
volume cairan
Pembersihan jalan
nafas tidak efektif
Resiko penularan
Inflamasi
Demam
Penguapan
Edema
mukosa
Mukosa
kemerahan
Kesulitan
menelan
Batuk
Sputum
mukosa
Droplet
B. Tanda dan Gejala
Tanda dan gejala yang ditimbulkan faringitis tergantung pada
mikroorganisme yang menginfeksi. Secara garis besar faringitis
menunjukkan tanda dan gejala umum seperti lemas, anorexia,
demam, suara serak, kaku dan sakit pada otot leher.
Gejala khas berdasarkan jenisnya, yaitu:
a. Faringitis viral (umumnya oleh rhinovirus): diawali dengan
gejala rhinitis dan beberapa hari kemudian timbul faringitis.
Gejala lain demam disertai rinorea dan mual.
b. Faringitis bakterial: nyeri kepala hebat, muntah, kadang
disertai demam dengan suhu yang tinggi, jarang disertai
batuk.
c. Faringitis fungal: terutama nyeri tenggorok dan nyeri
menelan.
d. Faringitis kronik hiperplastik: mula-mula tenggorok kering,
gatal dan akhirnya batuk yang berdahak.
e. Faringitis atrofi: umumnya tenggorokan kering dan tebal
serta mulut berbau.
f. Faringitis tuberkulosis: nyeri hebat pada faring dan tidak
berespon dengan pengobatan bakterial non spesifik.
g. Bila dicurigai faringitis gonorea atau faringitis luetika,
ditanyakan riwayat hubungan seksual (Kementerian)
Kesehatan Republik Indonesia, 2014).
C. Penegakan Diagnosis
Diagnosis Klinis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik
dan pemeriksaan penunjang bila diperlukan (Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia, 2014).
1. Anamnesis:
Anamnesis harus sesuai dengan mikroorganisme yang
menginfeksi. Secara garis besar pasien faringitis
mengeluhkan lemas, anorexia, demam, suara serak, kaku
dan sakit pada otot leher. Gejala khas berdasarkan jenis
mikroorganisme, yaitu:
a. Faringitis viral, umumnya oleh Rhinovirus diawali
dengan gejala rhinitis dan beberapa hari kemudian
timbul faringitis. Gejala lain demam disertai rinorea
dan mual.
b. Faringitis bakterial, biasanya pasien mengeluhkan nyeri
kepala hebat, muntah, kadang disertai demam dengan
suhu yang tinggi dan jarang disertai batuk.
c. Faringitis fungal, terutama nyeri tenggorok dan nyeri
menelan.
d. Faringitis kronik hiperplastik, mula-mula tenggorok
kering, gatal dan akhirnya batuk yang berdahak.
e. Faringitis kronik atrofi, umumnya tenggorokan kering
dan tebal serta mulut berbau.
f. Faringitis tuberkulosis, biasanya nyeri hebat pada
faring dan tidak berespon dengan pengobatan bakterial
non spesifik.
g. Apabila dicurigai faringitis gonorea atau faringitis
luetika, ditanyakan riwayat hubungan seksual pasien.
2. Pemeriksaan Fisik
a. Faringitis viral, pada pemeriksaan tampak faring dan
tonsil hiperemis, eksudat (virus influenza,
coxsachievirus, cytomegalovirus tidak menghasilkan
eksudat). Pada coxsachievirus dapat menimbulkan lesi
vesikular di orofaring dan lesi kulit berupa
maculopapular rash.
b. Faringitis bakterial, pada pemeriksaan tampak tonsil
membesar, faring dan tonsil hiperemis dan terdapat
eksudat dipermukaannya. Beberapa hari kemudian
timbul bercak petechiae pada palatum dan faring.
Kadang ditemukan kelenjar limfa leher anterior
membesar, kenyal dan nyeri pada penekanan.
c. Faringitis fungal, pada pemeriksaan tampak plak putih
di orofaring dan pangkal lidah, sedangkan mukosa faring lainnya hiperemis.
d. Faringitis kronik hiperplastik, pada pemeriksaan
tampak kelenjar limfa di bawah mukosa faring dan
lateral hiperplasi. Pada pemeriksaan tampak mukosa
dinding posterior tidak rata dan bergranular (cobble
stone).
e. Faringitis kronik atrofi, pada pemeriksaan tampak
mukosa faring ditutupi oleh lendir yang kental dan bila
diangkat tampak mukosa kering.
f. Faringitis tuberkulosis, pada pemeriksaan tampak
granuloma perkijuan pada mukosa faring dan laring.
g. Faringitis luetika tergantung stadium penyakit.
- Stadium primer
Pada lidah palatum mole, tonsil dan dinding
posterior faring berbentuk bercak keputihan. Bila
infeksi berlanjut timbul ulkus pada daerah faring
seperti ulkus pada genitalia yaitu tidak nyeri. Juga
didapatkan pembesaran kelenjar mandibula.
- Stadium sekunder
Stadium ini jarang ditemukan. Pada dinding faring
terdapat eritema yang menjalar ke arah laring.
- Stadium tersier
Terdapat guma. Predileksi pada tonsil dan palatum
(Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2014).
3. Pemeriksaan Penunjang
Faringitis didiagnosis dengan cara pemeriksaan
tenggorokan (kultur apus tenggorokan). Pemeriksaan kultur
memiliki sensitivitas 90-95% dari diagnosis, sehingga lebih
diandalkan sebagai penentu penyebab faringitis yang
diandalkan (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2005).
Kultur tenggorokan merupakan suatu metode yang
dilakukan untuk menegaskan suatu diagnosis dari faringitis
yang disebabkan oleh bakteri Group A Beta-Hemolytic
Streptococcus (GABHS). Group A Beta-Hemolytic
Streptococcus (GABHS) rapid antigen detection test
merupakan suatu metode untuk mendiagnosa faringitis
karena infeksi GABHS. Tes ini akan menjadi indikasi jika
pasien memiliki risiko sedang atau jika seorang dokter
memberikan terapi antibiotik dengan risiko tinggi untuk
pasien. Jika hasil yang diperoleh positif maka pengobatan
diberikan antibiotik dengan tepat namun apabila hasilnya
negatif maka pengobatan antibiotik dihentikan kemudian
dilakukan follow-up. Rapid antigen detection test tidak
sensitif terhadap Streptococcus Group C dan G atau jenis
bakteri patogen lainnya (Kazzi et al., 2006).
Untuk mencapai hasil yang akurat, pangambilan apus
tenggorok dilakukan pada daerah tonsil dan dinding faring
posterior. Spesimen diinokulasi pada agar darah dan
ditanami disk antibiotik. Kriteria standar untuk penegakan
diagnosis infeksi GABHS adalah persentase sensitifitas
mencapai 90-99%. Kultur tenggorok sangat penting bagi
penderita yang lebih dari sepuluh hari (Vincent, 2004).
4. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan dari penyakit faringitis harus sesuai dengan
penyebabnya.
5. Tujuan Penatalaksanaan
Mengatasi gejala secepat mungkin, membatasi penyebaran
infeksi serta membatasi komplikasi.
6. Terapi Pokok
Penatalaksanaan komprehensif penyakit faringitis akut,
yaitu:
1. Istirahat cukup
2. Minum air putih yang cukup
3. Berkumur dengan air yang hangat
4. Pemberian farmakoterapi:
a. Topikal
Obat kumur antiseptik
- Menjaga kebersihan mulut
- Pada faringitis fungal diberikan nystatin 100.000-400.000
2 kali/hari.
- Faringitis kronik hiperplastik terapi lokal dengan
melakukan kaustik faring dengan memakai zat kimia
larutan nitras argentin 25%.
b. Oral sistemik
- Anti virus metisoprinol (isoprenosine) diberikan pada
infeksi virus dengan dosis 60-100 mg/kgBB dibagi dalam
4-6 kali pemberian/hari pada orang dewasa dan pada anak
kurang dari lima tahun diberikan 50 mg/kgBB dibagi
dalam 4-6 kali pemberian/hari.
- Faringitis akibat bakteri terutama bila diduga penyebabnya
Streptococcus group A diberikan antibiotik yaitu penicillin
G benzatin 50.000 U/kgBB/IM dosis tunggal atau
amoksisilin 50 mg/kgBB dosis dibagi 3 kali/hari selama
sepuluh hari dan pada dewasa 3x500 mg selama 6-10 hari
atau eritromisin 4x500 mg/hari. Selain antibiotik juga
diberikan kortikosteroid karena steroid telah menunjukkan
perbaikan klinis karena dapat menekan reaksi inflamasi.
Steroid yang dapat diberikan berupa deksametason 3x0,5
mg pada dewasa selama tiga hari dan pada anak-anak 0,01
mg/kgBB/hari dibagi tiga kali pemberian selama tiga hari.
- Faringitis gonorea, sefalosporin generasi ke-tiga,
Ceftriakson 2 gr IV/IM single dose.
- Pada faringitis kronik hiperplastik, jika diperlukan dapat
diberikan obat batuk antitusif atau ekspektoran. Penyakit
hidung dan sinus paranasal harus diobati.
- Faringitis kronik atrofi pengobatan ditujukan pada rhinitis
atrofi.
- Untuk kasus faringitis kronik hiperplastik dilakukan
kaustik sekali sehari selama 3-5 hari.
Konseling dan Edukasi :
1. Memberitahu keluarga untuk menjaga daya tahan tubuh
dengan mengkonsumsi makan bergizi dan olahraga teratur.
2. Memberitahu keluarga untuk berhenti merokok.
3. Memberitahu keluarga untuk menghindari makan-makanan
yang dapat mengiritasi tenggorok.
4. Memberitahu keluarga dan pasien untuk selalu menjaga
kebersihan mulut.
5. Memberitahu keluarga untuk mencuci tangan secara teratur
(Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2014).
7. Komplikasi
Komplikasi umum pada faringitis adalah sinusitis, otitis media,
epiglottitis, mastoiditis, dan pneumonia. Faringitis yang disebabkan
oleh infeksi Streptococcus jika tidak segera diobati dapat
menyebabkan peritonsillar abses, demam reumatik akut, toxic
shock syndrome, peritonsillar sellulitis, abses retrofaringeal dan
obstruksi saluran pernasafan akibat dari pembengkakan laring.
Demam reumatik akut dilaporkan terjadi pada satu dari 400 infeksi
GABHS yang tidak diobati dengan baik (Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia, 2013).
Standar Pengobatan Faringitis Akut Menurut Pedoman Pengobatan
Dasar di Puskesmas 2007.
1. Standar Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2007
Penatalaksanaan:
- Perawatan dan pengobatan tidak berbeda dengan influenza.
- Untuk anak tidak ada anjuran obat khusus.
- Untuk demam dan nyeri:
• Dewasa
Parasetamol 250 atau 500 mg, 1 – 2 tablet per oral 4 x
sehari jika diperlukan,
atau Ibuprofen, 200 mg 1 – 2 tablet 4 x sehari jika
diperlukan.
• Anak
Parasetamol diberikan 3 kali sehari jika demam
- di bawah 1 tahun : 60 mg/kali (1/8 tablet)
- 1 - 3 tahun : 60 - 120 mg/kali (1/4 tablet)
- 3 - 6 tahun : 120 - 170 mg/kali (1/3 tablet)
- 6 - 12 tahun : 170 - 300 mg/kali (1/2 tablet)
Obati dengan antibiotik jika diduga ada infeksi :
• Dewasa
-Kotrimoksazol 2 tablet dewasa 2 x sehari selama 5 hari
-Amoksisilin 500 mg 3 x sehari selama 5 hari
-Eritromisin 500 mg 3 x sehari selama 5 hari
• Anak
-Kotrimoksazol 2 tablet anak 2 x sehari selama 5 hari
-Amoksisilin 30 - 50mg/kgBB perhari selama 5 hari
-Eritromisin 20 – 40 mg/kgBB perhari selama 5 hari
3. Peresepan Obat
Resep merupakan permintaan tertulis dari dokter, dokter gigi, dokter hewan
kepada apoteker untuk menyediakan dan menyerahkan obat bagi pasien
sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Lembaran resep
umumnya berbentuk empat persegi panjang, ukuran ideal lebar 10-12 cm
dan panjang 15-20 cm (Jas, 2009). Pelayanan resep merupakan kegiatan
meliputi aspek teknis dan non teknis yang harus dikerjakan mulai dari
penerimaan resep, peracikan obat sampai penyerahan obat kepada pasien
(Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2006).
Resep harus mudah dibaca dengan jelas, idealnya resep obat yang
diberikan kepada pasien tidak memiliki kesalahan dan seluruhnya berisi
komponen yang diperlukan pasien (Ambarwati, 2009).
Setiap negara mempunyai ketentuan sendiri tentang informasi apa yang
harus tercantum dalam sebuah resep. Berikut ini prinsip penulisan resep
yang berlaku di Indonesia (Jas, 2009):
1. Obat ditulis dengan nama paten/dagang, generik, resmi atau kimia.
2. Karakteristik nama obat ditulis harus sama dengan yang tercantun
dilabel kemasan.
3. Resep ditulis dengan jelas pada kop resep resmi.
4. Bentuk sediaan dan jumlah obat ditentukan dokter penulis resep.
5. Signatura ditulis dalam singkatan bahasa latin.
6. Pro atau peruntukan dinyatakan umur pasien.
1. Peresepan Obat Rasional
Peresepan obat rasional adalah peresepan obat yang benar, jelas
dan sesuai dengan kebutuhan pasien serta mempertimbangkan jenis
obat yang diberikan, dosis, lama pemberian dan harga yang
terjangkau (World Health Organization, 2010). Apabila
menyimpang dari ketentuan di atas dapat dikatakan tidak rasional.
Prosesnya adalah mulai dari diagnosis, penentuan dan pemilihan
jenis obat, penyediaan pelayanan obat, petunjuk pemakaian obat,
bentuk sediaan yang tepat, cara pengemasan, pemberian label/etiket
dan kepatuhan penggunaan obat oleh penderita (Pane et al., 2010).
2. Peresepan Obat Tidak Rasional
Pola peresepan yang menyimpang memiliki peranan besar pada
pengobatan tidak rasional. Hal ini dapat menyebabkan dampak
seperti terjadinya efek yang tidak diinginkan, pengeluaran
pembiayaan yang terlalu banyak, resistensi obat serta kekambuhan
berulang akibat penggunaan obat diluar batas (World Health
Organization, 2010). Peresepan yang tidak rasional dapat
dikelompokkan dalam lima bentuk:
• Peresepan berlebihan (over prescribing)
Peresepan yang jumlah, dosis dan lama pemberian obat melebihi
ketentuan, serta peresepan obat-obat yang secara medik tidak atau
kurang diperlukan.
• Peresepan boros (extravagant prescribing)
Peresepan dengan obat yang mahal, sedangkan ada alternatif obat
yang lebih murah dengan manfaat dan keamanan yang sama.
Termasuk disini adalah peresepan yang berorientasi ke pengobatan
simptomatik sehingga mengurangi alokasi obat yang lebih vital.
• Peresepan yang salah (incorrect prescribing)
Pemakaian obat untuk indikasi yang salah, obat yang tidak tepat,
cara pemakaian salah, mengkombinasi dua atau lebih macam obat
yang tak bisa dicampurkan secara farmasetik dan terapetik serta
pemakaian obat tanpa memperhitungkan kondisi penderita secara
menyeluruh.
• Peresepan majemuk (multiple prescribing)
Pemberian dua atau lebih kombinasi obat yang sebenarnya cukup
hanya diberikan obat tunggal saja. Termasuk disini adalah
pengobatan terhadap semua gejala yang muncul tanpa mengarah ke
penyakit utamanya.
• Peresepan kurang (under prescribing)
Terjadi bila obat yang diperlukan tidak diresepkan, dosis obat tidak
cukup dan lama pemberian obat terlalu pendek waktunya (Kimin,
2008).
No comments:
Post a Comment