KEBUDAYAAN SUKU MAKASSAR
Oleh :
Mayumi Wurshita A. (15)
Marsha Diva Andini (14)
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Panyayang, Kami
panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan
rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah multikultural tentang Kebudayaan Suku Bugis Makassar.
Makalah Multikultural “Kebudayaan Suku Bugis
Makassar” ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari
berbagai pihak keluarga sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini.
Untuk itu kami menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak keluarga yang
telah berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.
Terlepas dari semua itu, saya menyadari
sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun
tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan terbuka kami menerima segala
saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah multikultural
ini.
Akhir kata kami berharap semoga makalah
multikultural tentang Kebudayaan Suku Bugis Makassar ini dapat memberikan
manfaat maupun inpirasi terhadap pembaca.
DAFTAR ISI
Kata pengantar .................................................................................................................................i
Daftar isi .........................................................................................................................................ii
Bab I Pendahuluan
.........................................................................................................................1
A. Latar belakang
............................................................................................................................2
Bab II
Pembahasan……………………………..............................................................................4
A. Kebudayaan Bugis Makassar
.....................................................................................................4
B. Ciri khas Bugis Makassar
...........................................................................................................6
C. Kerjaan Bugis Makassar
...........................................................................................................13
Bab III Penutup……………….....................................................................................................16
A. Kesimpulan
..............................................................................................................................16
Daftar pustaka
...............................................................................................................................20
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Keragaman etnis dan budaya
memiliki potensi besar dalam membangun bangsa ini, termasuk dalam pembangunan
dan pengembangan pendidikan. Keragaman budaya yang tumbuh dan berkembang pada
setiap etnis seharusnya diakui eksistensinya dan sekaligus dapat dijadikan
landasan dalam pembangunan pendidikan. Tilaar mengemukakan bahwa
pendidikan nasional di dalam era reformasi perlu dirumuskan suatu visi
pendidikan yang baru yaitu membangun manusia dan masyarakat madani Indonesia
yang mempunyai identitas berdasarkan kebudayaan nasional. Sedang kebudayaan
nasional sendiri dibangun dari kebudayaan daerah yang tumbuh dan berkembang di
setiap etnis. Dalam kaitannya dengan upaya pembaharuan pendidikan dan keragaman
budaya, maka faktor sosial budaya tidak dapat diabaikan. Sistem pendidikan yang
digunakan di negara maju, seyogyanya tidak diciplak secara menyeluruh tanpa
memperhatikan budaya yang berkembang dalam masyarakat. Sistem pendidikan suatu
negara harus sesuai dengan falsafah dan budaya bangsa sendiri. Indonesia
dengankeanekaragaman budayanya, perlu melakukan kajian tersendiri terhadap
sistem pendidikan yang akandigunakan, termasuk sistem pendidikan yang akan
digunakan di setiap daerah dan setiap etnis, sehinggasistem yang dipakai sesuai
dengan kondisi budaya masyarakat setempat.
Oleh karena itu, perlu ada
upaya bagaimana memperhatikan dan mengungkapkan keterlibatan faktor budaya
dalam interaksi tersebut agar dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan prestasi
belajar siswa.Siri’ sebagai inti budaya Bugis-Makassar memiliki potensi untuk
dapat meningkatkan prestasi belajar siswa, sebab siri’ merupakan pandangan
hidup yang bertujuan untuk meningkatkan harkat,martabat dan harga diri, baik
sebagai individu maupun sebagai makhluk sosial.
Etnis Bugis dan etnis Makassar
adalah dua diantara empat etnis besar yang berada di Sulawesi Selatan. Pada
hakekatnya kebudayaan dan pandangan hidup orang Bugis padaumumnya sama dan
serasi dengan kebudayaan dan pandangan hidup orang Makassar. Oleh karena itu
membahas tentang budaya Bugis sulit dilepaskan dengan pembahasan tentang
budaya Makassar. Hal ini sejalan dengan pandangan Abdullah yang mengatakan
bahwa dalam sistem keluarga atau dalam kekerabatan kehidupan manusia Bugis dan
manusia Makassar, dapat dikatakan hampir tidak terdapat perbedaan. Lebih lanjut
dikemukakan bahwa kedua kelompok suku bangsa ini (suku Bugis dan suku Makassar)
pada hakekatnya merupakan suatu unit budaya. Sebab itu, apa yang berlaku dalam
duniamanusia Bugis, berlaku pula pada manusia Makassar.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Kebudayaan Bugis Makassar
Dalam sistem kehidupan
masyarakat budaya Bugis-Makassar di Sulawesi Selatan, siri'adalah salah-satu
bentuk pranata susila sosial yang dianggap cukup tabu oleh masya¬rakat di
daerah ini. Begitu tabunya masalah siri' ini dalam sistem kehidupan
kemasyarakatan semesta termasuk di antaranya adalah siri' sebagai upaya
privensi terjadinya delik dalam kehidupan bermasya¬kat dan berbudaya, bahkan
sampai kepada bernegara sekalipun. Karena siri' dianggap suatu sebagai
pandangan hidup, dan seolah olah masalah itu ditaati sebagai suatu
undang-undang yang tertulis.
Dalam penerapan nilai-nilai
budaya siri' ke dalam sistem kehidupan sehari-hari, bagi suku Bugis-Makasar
bukanlah sekedar simbol. Tetapi lebih dari itu sangat penting artinya terutama
sekali dalam kehidupan kemasyarakatan, tata pemerintahan, dan bahkan tata hukum
sebagai hukum tak tertulis (dalam hal ini, khususnya hukum adat pidana). Orang
yang tidak memiliki nilai siri' dalam dirinya, maka orang tersebut dianggap
tidak bernilai atau tidak beradab dan tidak berharkat-martabat (demikian
tulisan Kamri, dalam laporan hasil penelitiannya yang berjudul -Budaya Siri'
Sebagai Pola Tatanan Kehidupan Masyarakat Bugis- Makassar: Suatu Tinjauan
Pelestarian Nilai-nilai Budaya Berdasarkan Pasal 14 UULH, 1995 hal. v-vi).
Terdapat empat macam prototipe
manusia menurut konsep siri'. Pertama, Tomasiria = Toengka siri'ne. Orang yang
sangat menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia dan kemanusiaan. Orang
seperti ini paling dibutuhkan dalam KEPEMIMPINAN. Kedua, tositengnga-tengnga
sivi'na. Orang yang memiliki rasa siri' hanya setengah-setengah. Pada umumnya
orang seperti ini tidak memiliki pendirian yang tetap. Ketiga, Tbmakurang
siri" dan kempat, Todegaga siri'na = orang yang tidak memikirkan rasa
siri'.
Pada umumnya orang seperti ini
cenderung melakukan tindak pidana tanpa tujuan kecuali kejatan. Bertautan
dengan hal tersebut di ataslah sehingga penu- lis berpandangan bahwa siri'
merupakan salah satu bentuk pranata susila sosial yang dapat dijadikaninstrumen
pranata hukum pidana yang bersifat priventif. Hanya raja dengan perkembangan
ilmu pengetahuan dan tekno¬logi dewasa ini, lalu kondisi kehidupan sosial
masyarakat adat Bugis-Makassar turut terpengaruh. Salah-satu penga¬ruhnya
adalah pemahaman terhadap makna hakikat sini' ternyata berkembang. Yaitu ada
siri" dalam arti positif dan ada dalam arti negatif. Sid" dalam arti
posit inilah yang dimaksudkan oleh penulis dalam judul tesis ini. Sebab pada
dasarnya memang hakikat makna itu terletak pada siri" dalam anti positif
dan bukan dalam arti yang negatif.
B. Ciri Khas Bugis Makassar
Secara garis besar pemduduk provinsi Sulawesi
Selatan terdiri dari empat suku bangsa yaitu, Makassar, Toraja,Bugis dan Mandar
:Bukan hanya Inggris, Norwegia serta negara-negara kerajaan lain yang memiliki
gelar kehormatan, Indonesia juga memilikinya. Jangan lupakan gelar-gelar
kehormatan dari keraton-keraton serta kerajaan-kerajaan yang ada di Indonesia.
Jika berbicara mengenai panjang gelar, gelar dari Indonesia juga tidak kalah
panjang. Kadang menyulitkan bagi mereka yang tidak tahu asal-usulnya. Tetapi,
ada gelar milik Indonesia yang cukup singkat. Gelar tersebut adalah Andi.
Pertanyaan yang muncul kemudian
adalah, apakah benar Andi adalah nama gelar? Lalu, kenapa namanya terkesan
seperti nama seseorang? Sulit memang membedakan nama Andi sebagai gelar dan
mana Andi sebagai nama. Untuk mengetahuinya, Anda bisa melihat asal-usul dari
orang tersebut. Jika berasal dari Bugis, kemungkinan Andi yang dimiliki adalah
gelar. Gelar Andi memiliki cerita sejarah yang cukup panjang. Semua terangkum
dalam kebudayaan masyarakat Bugis. Untuk itu, ketika membicarakan gelar yang
satu ini, kebudayaan masyarakat Suku Bugis secara tidak langsung juga akan ikut
dibicarakan. Simak pembahasan mengenai Suku Bugis berikut ini!
Suku Bugis Suku Bugis berada di
Sulawesi Selatan. Anggota masyarakat suku ini merupakan hasil akulturasi dari
berbagai etnis. Masyarakat Melayu dan Minangkabau yang datang ke daerah ini,
tepatnya Kerajaan Gowa, sekitar abad 15 juga dapat dikelompokkan sebagai
masyarakat Bugis. Masyarakat Suku Bugis menyebar ke berbagai penjuru Indonesia,
bahkan hingga luar negeri. Jika membicarakan asal-usul keberadaan suku ini,
jangan ragukan soal panjangnya cerita yang akan Anda dapat.
Semua bermula dari kebiasaan masyarakat La Sattumpugi, masyarakat yang saat ini
mendiami Kabupaten Wajo, yang menyebut dirinya dengan nama to ugi. To ugi
sendiri adalah sebutan bagi pengikut La Sattumpugi. Ceritanya berlanjut hingga
kemudian La Sattumpugi memiliki anak bernama We Cudai dan Batara Lattu. Batara
Lattu kemudian memiliki anak bernama Sawerigading. Sawerigading sendiri menikah
dengan We Cudai dan memiliki anak bernama La Galigo. La Galigo merupakan
seorang sastrawan besar yang melahirkan karya sebanyak ribuan folio. Masyarakat
Bugis pun membentuk beberapa kelompok kerajaan. Kerajaan Bugis yang tergolong
memiliki usia tua adalah Kerajaan Bone, Kerajaan Luwu, Kerajaan Soppeng,
Kerajaan Sawitto, Kerajaan Sidrap, Kerajaan Rappang dan Kerajaan Sidenreng.
Pernikahan yang terjadi antara masyarakat Makassar dan Mandar membuat
percampuran darah antara dua budaya tidak bisa lagi dielakkan.
Suku Bugis juga menjadi
identitas atau akar silsilah dari beberapa tokoh yang ada di Indonesia. Sebut
saja Jusuf Kalla. Kemudian ada B.J Habiebie, Sophan Sophiaan, serta Andi
Mallarangeng. Nama Andi pada Andi Mallarangeng kemungkinan adalah gelar Andi
yang dimaksud. Ragam Pendapat Tentang Andi Gelar Andi selaku gelar kehormatan
yang dimiliki masyarakat Bugis disematkan pada bangsawan-bangsawan Bugis. Ada
beragam pendapat yang menceritakan asal-usul dari pemberian gelar Andi ini.
Namun, temuan berupa sumber asli belum ada. Menurut beberapa pendapat, Andi
merupakan gelar kebangsawanan yang diturunakan berdasarkan garis keturunan.
Setelah Bugis mendapatkan kemerdekaannya dari masyarakat Gowa, mereka yang
merupakan keturunan dari campuran dari beberapa garis keturunan mendapatkan
gelar ini. Mereka adalah keturunan dari percampuran berikut. Percampuran
pernikahan antara keturunan Lapatau dengan putri dari Raja Bone Sejati;
Percampuran pernikahan antara keturunan Lapatau dengan putri dari Raja Wulu
yang bekerjasama dengan Kerajaan Gowa;
Percampuran pernikahan antara keturunan
Lapatau dengan putri dari Raja Wajo;
Percampuran pernikahan antara keturunan
Lapatau dengan putri dari Sultan Hasanuddin;
Kemudian percampuran dari
pernikahan antara anak serta cucu Lapatau dengan putri dari Raja Suppa dan
Tiroang; Dan, percampuran pernikahan antara anak cucu Lapatau dengan putri-putri
raja dari kerajaan-kerajaan kecil yang berdaulat di Sulawesi. Pemberian gelar
tersebut konon merupakan upaya dari Belanda, dalam hal ini VOC, untuk membangun
serta mengendalikan, dalam hal ini lebih tepatnya mengubah kehidupan sosial
yang ada di Sulawesi. Itu lah mengapa ada seorang jenderal bernama Muhammad
Yusuf yang menolak penggunaan nama Andi. Padahal secara garis keturunan, beliau
adalah memiliki garis keturunan dari Sawerigading. Pemberian Nama Andi di Era
La Pawawoi Pendapat beberapa ahli lainnya adalah berhubungan dengan kehidupan
masyarakat Bugis pada zaman pemerintahan La Pawawoi Karaeng Sigeri. Menurut
cerita, pada masa pemerintahan itu, hubungan Kerajaan Bone dan pihak VOC dalam
keadaan memanas. Kerajaan Bone kemudian membentuk sekelompok pasukan untuk
menghadapi pasukan dari Belanda tersebut. Pasukan itu diberi nama Anre Guru
Ana’ Karung. Pemimpin dari pasukan bentukan Kerajaan Bone tersebut adalah Petta
Ponggawae. Anggota dari pasukan bentukan Kerajaan Bone bukan hanya anak-anak bangsawan,
tetapi juga anak dari orang-orang berkedudukan di daerahnya masing-masing.
Pemuda-pemuda itu lah yang kemudian konon dianugerahi gelar Andi. Gelar itu
diberikan karena mereka sudah dianggap sebagai keluarga muda Raja Bone yang
rela mati demi menegakkan kehormatan yang dimiliki rajanya, atau patetong’ngi
alebbirenna Puanna. Pemberian Nama Andi versi Raja Bone Versi lain mengenai
pemberian gelar Andi berhubungan dengan Raja Bone ke 30 dan 32 bernama La
Mappanyukki. Beliau merupakan putra dari Raja Gowa dan putrid Raja Bone. La
Mappanyukki mendapatkan gelar Andi d depan namanya atas
pengaruh dari pihak Belanda. Peristiwa itu terjadi pada 1930-an. Mengapa dalam
pemberian nama Andi ini pihak Belanda memiliki pengaruh? Ini adalah siasat
Belanda untuk membedakan bangsawan mana yang berpihak padanya. Para bangsawan
yang menggunakan gelar Andi di depan namanya, adalah mereka yang berpihak
kepada pihak Belanda. Melihat kemudahan yang diterima para bangsawan pemihak
Belanda, satu tahun kemudian, raja-raja yang berkuasa di Sulawesi sepakat untuk
menggunakan nama Andi di depan namanya. Dalam buku milik Susan Millar juga
disebutkan bahwa penggunaan nama Andi di depan awalnya adalah bertujuan untuk
membedakan mana golongan bangsawan dan mana yang bukan. Karena saat itu,
terjadi perdamaian antara pihak kerajaan dengan VOC. VOC kemudian berjanji
untuk melepaskan budak yang masih merupakan keturunan bangsawa. Penggunaan nama
Andi kemudian merujuk pada peristiwa tersebut.
Pengelompokkan mana bangsawan
dan mana yang bukan menemukan kendala. Banyaknya budak yang dimiliki Belanda
pada saat itu berimbas pada bercampurnya seluruh lapisan masyarakat. Akhirnya,
diputuskan bahwa mereka yang lolos mengikuti berbagai test, yang pastinya hanya
dikuasai oleh para bangsawan, lah yang akan mendapatkan sertifikat. Test
tersebut salah satunya adalah test sebagai montir mobil.
Dari peristiwa tersebut, gelar
Andi seolah menjamur. Semua keturunan bangsawan menggunakan nama tersebut di
depan nama aslinya. Penggunaan nama Andi pada saat itu juga cukup beragam di
setiap kerajaan yang ada di Sulawesi. Misalnya seperti yang terjadi di Kerajaan
Soppeng. Kerajaan ini hanya membolehkan gelar Andi digunakan oleh keturunan
ketiga. Pemaknaan Gelar Andi Ketika seseorang memang sudah ditakdirkan menjadi
bangsawan, siapa yang akan memungkirinya? Gelar-gelar kebangsawanan yang ada di
Indonesia ini harus diakui cukup membuat garis strata sosial semakin jelas
terlihat. Tidak heran jika pada akhirnya, ada beberapa bangsawan, yang ditandai
dengan gelar di depan namanya, bangga terhadap gelar yang dimilikinya.
Sehingga, gelar tersebut terus dibawa-bawa kemana pun ia pergi. Seperti gelar
Andi ini sendiri. Dan hal tersebut membuat jurang pemisah antara golongan
bangsawan dan golongan masyarakat biasa.
Di golongan masyarakat Bugis
sendiri, khususnya mereka para orang tua, ada sebuah anggapan bahwa siapa pun
yang sering mengaku-aku dirinya sebagai bangsawan dan membawa gelarnya kemana
pun serta seolah menonjolkanya kepada masyarakat luas, adalah bukan keturunan
murni bangsawan. Kebanggaan mereka terhadap gelar dengan menonjolkan nama gelar
yang dimiliki seolah sebagai bentuk ketakutan apabila gelar bangsawan yang
dimilikinya tidak diakui. Padahal, jika memang ia adalah bangsawan murni, tanpa
menggunakan embel-embel Andi di depan namanya, masyarakat akan tetap tahu bahwa
ia adalah bangsawan. Pemaknaan gelar kebangsawanan di masyarakat Indonesia,
seperti Andi memang menimbulkan perbedaan pendapat. Sejatinya, menurut salah
seorang keturunan bangsawan, gelar bangsawan tidak berbeda jauh dengan kadar
karat yang dimiliki sebongkah emas. Ada yang kadar karatnya tinggi dan ada yang
rendah. Kadar karat ini diasosiasikan sebagai tingkah laku atau kepribadian
bangsawan tersebut di tengah-tengah masyarakat. Gelar Andi sendiri seolah menjadi
suatu hal yang bisa menaikkan gengsi seseorang di lingkungan masyarakat. Pada
akhirnya, pemakaian gelar Andi ini banyak yang dipaksakan. Aturan berdasarkan
kebudayaan masyarakat Sulawesi Selatan, gelar Andi hanya boleh diturunkan dari
garis ayah. Jika ayahnya tidak “Andi”, ia tidak boleh menempatkan gelar
tersebut di depan namanya. Sayang, aturan tersebut banyak diterabas.
C. Kerajaan Bugis Makassar
Bugis Makassar memliki lima
Kerajaan diantaranya adalah Kerajaan Bone, Kerajaan Makassar, Kerajaan Wajo,
Kerajaan Soppeng Kerajaan Luwu:
1. Kerajaan Bone
Di daerah Bone terjadi
kekacauan selama tujuh generasi, yang kemudian muncul seorang To Manurung yang
dikenal Manurungnge ri Matajang. Tujuh raja-raja kecil melantik Manurungnge ri
Matajang sebagai raja mereka dengan nama Arumpone dan mereka menjadi dewan
legislatif yang dikenal dengan istilah ade pitue. Manurungnge ri Matajang
dikenal juga dengan nama Mata Silompoe. Adapun ade' pitue terdiri dari matoa
ta, matoa tibojong, matoa tanete riattang, matoa tanete riawang, matoa macege,
matoa ponceng. istilah matoa kemudian menjadi arung. setelah Manurungnge ri
Matajang, kerajaan Bone dipimpin oleh putranya yaitu La Ummasa' Petta Panre
Bessie. Kemudian kemanakan La Ummasa' anak dari adiknya yang menikah raja
Palakka lahirlah La Saliyu Kerrempelua. pada masa Arumpone (gelar raja bone)
ketiga ini, secara massif Bone semakin memperluas wilayahnya ke utara, selatan
dan barat.
2. Kerajaan Makassar
Sejarah Kerajaan Makassar sebenarnya
terdiri atas 2 kerajaan yakni kerajaan Gowa dan Tallo. Kemudian, kerajaan itu
bersatu dibawah pimpinan raja Gowa yaitu Daeng Manrabba. Setelah menganut agama
Islam, Ia bergelar Sultan Alauddin. Raja Tallo, yaitu Karaeng Mattoaya yang
bergelar Sultan Abdullah, menjadi mangku bumi. Bersatunya kedua kerajaan
tersebut bersamaan dengan tersebarnya agama Islam ke Sulawesi Selatan. Pusat
pemerintahan dari Kerajaan Makassar terletak di Sombaopu. Letak kerajaan
Makassar sangat strategis karena berada di jalur lalu lintas pelayaran antara
Malak dan Maluku. Letaknya yang sangat strategis itu menarik minat para
pedagang untuk singgah di pelabuhan Sombaopu. Dalam waktu singkat, Makassar
berkembang menjadi salah satu Bandar penting di wilayah timur Indonesia.
3. Kerajaan Wajo
Kerajaan Wajo terbentuk dari
komune-komune atau komunitas yang terdiri dari berbagai arah yang berada di
sekitar Tappareng Karaja. Terbetuknya kerajaan wajo berawal dari danau
Lampulungeng yang dipimpin seorang yang memiliki kemampuan supranatural yang
disebut puangnge ri lampulungeng. setelah puangnge ri lampulungeng,
komune lampulungeng berpindah ke Boli yang kemudian dipimpin oleh seseorang
yang juga memiliki kemampuan supranatural. kedatangan Lapaukke seorang pangeran
dari kerajaan Cina (Pammana) adalah pendiri (Founding Father) kerajaan
Cinnongtabi ,Kerajaan ini terbentuk dari banyaknya komunitas di sekitar
tappareng karaja. Selama lima generasi kerajaan Cinnongtabi Berdaulat,yang
kemudian kerajaan ini bubar dan terbentuk Kerajaan Wajo.
4. Kerajaan Soppeng
Pada suatu masa ketika terjadi
kekacauan di Soppeng, muncul dua orang To Manurung. Yang pertama adalah seorang
wanita yang dikenal dengan nama Manurungnge ri Goarie yang kemudian memerintah
Soppeng ri Aja. Yang kedua adalah seorang laki-laki yang bernama La Temmamala
Manurungnge ri Sekkanyili yang kemudian memerintah Soppeng ri Lau. Pada
akhirnya kedua kerajaan kembar tersebut menyatu menjadi Kerajaaan Soppeng.
5. Kerajaan Luwu
Di abad ke-12, 13, dan 14
berdiri kerajaan Luwu, Soppeng, Bone, dan Wajo, yang diawali dengan krisis
sosial dimana orang saling memangsa laksana ikan. Kerajaan Luwu kemudian
mendirikan kerajaan pendamping, yaitu kerajaan Tallo. Tapi dalam
perkembangannya kerajaan kembar ini (Gowa dan Tallo) akhirnya kembali menyatu
menjadi satu kerajaan yaitu Luwu.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Kebudayaan Bugis Makassar adalah kebudayaan dari suku bangsa Bugis
Makassar yang mendiami bagian terbesar dari Jazirah selatan dari Pulau Sulawesi.
Seacara garis besar penduduk provinsi Sulawesi Selatan terdiri dari empat suku
bangsa yaitu suku bugis, suku Makssar, Suku, Toraja Dan suku Mandar.Kebudayaan
Bugis Makassar dari segi Kependudukan mendiami Kabupaten-Kabupaten diataranya
adalah Sinjai, Bone,soppeng,Wajo,Sidenreng-Rappang,Pinrang,
Polewali-Mamasa,Enrekang, Luwu,Pare-Pare, Pangkajenne Kepulauan dan Maros.
Kebudayaan Bugis Makssar juga
memliki beberapa kerajaan diantaranya yaitu kerajaan Bone, kerajaan Makassar,
kerajaan Soppeng, kerajaan Luwu dan kerajaan Wajo.Adapun bahasa orang Bugis
adalah Bahasa Ugi,sedangkan orang Makassar adalah Mangkasa,Hurup yang dipakai adalah naskah-naskah Bugis
Makassar kuno adalah Aksara Lontara.
GAMBAR TEMPAT BERSEJARAH DI
MAKASSAR
ISTANA BALLA LOMPOA GOWA
MASJID AL MARKAS
No comments:
Post a Comment