Kapitan
Pattimura
Asal Usul
Pattimura
Ayah Pattimura bernama Frans Matulessy dan ibunya
bernama Fransina Tilahoi, Pattimura lahir pada tanggal 8 Juni 1783, di wilayah
bernama Haria di daerah Saparua, Maluku Tengah menurut versi pemerintah
Indonesia.
Pattimura
Menurut Para Sejarawan
M. Sapija yang menulis buku mengenai Sejarah
Perjuangan Pattimura (1954), mengatakan bahwa Pattimura lahir di daerah bernama
Hualoy, Seram Selatan, ia menulis :
“…Bahwa pahlawan Pattimura tergolong turunan
bangsawan dan berasal dari Nusa Ina (Seram). Ayah beliau yang bernama Antoni
Mattulessy adalah anak dari Kasimiliali Pattimura Mattulessy. Yang terakhir ini
adalah putra raja Sahualu. Sahualu bukan nama orang tetapi nama sebuah negeri
yang terletak dalam sebuah teluk di Seram Selatan – M. Sapija (1954).
Kemudian sejarawan Prof. Mansyur Suryanegara punya
pendapat lain dalam bukunya yang berjudul Api Sejarah (2009)
mengatakan bahwa nama asli Pattimura adalah Ahmad Lussy atau dalam bahasa
Maluku disebut sebagai Mat Lussy yang lahir di Hualoy, Seram Selatan.
Pattimura menurut Mansyur adalah seorang bangsawan
dari kerajaan Islam Sahulau, yang ketika itu diperintah oleh Sultan Abdurrahman
yang dikenal pula dengan nama Sultan Kasimillah. Dalam bahasa Maluku disebut
Dari sejarah tentang Pattimura yang ditulis M Sapija,
gelar Kapitan adalah pemberian Belanda. Padahal menurut Sejarawan Prof. Mansyur
Suryanegara, leluhur bangsa ini, dari sudut sejarah dan antropologi, adalah
homo religiosa (makhluk agamis).
Keyakinan mereka terhadap sesuatu kekuatan di luar
jangkauan akal pikiran mereka, menimbulkan tafsiran yang sulit dicerna rasio
modern. Oleh sebab itu, tingkah laku sosialnya dikendalikan kekuatan-kekuatan
alam yang mereka takuti.
Jiwa mereka bersatu dengan kekuatan-kekuatan alam, kesaktian-kesaktian
khusus yang dimiliki seseorang. Kesaktian itu kemudian diterima sebagai sesuatu
peristiwa yang mulia dan suci.
Bila ia melekat pada seseorang, maka orang itu adalah
lambang dari kekuatan mereka. Dia adalah pemimpin yang dianggap memiliki kharisma.
Sifat-sifat itu melekat dan berproses turun-temurun.
Walaupun kemudian mereka sudah memeluk agama, namun secara
genealogis/silsilah/keturunan adalah turunan pemimpin atau kapitan. Dari
sinilah sebenarnya sebutan “kapitan” yang melekat pada diri Pattimura itu
bermula menurut Prof. Mansyur Suryanegara.
Perjuangan
Pattimura Melawan Belanda
Sebelum melakukan perlawanan terhadap VOC, Pattimura
pernah berkarier dalam militer sebagai mantan sersan Militer Inggris. Kata
“Maluku” berasal dari bahasa Arab Al Mulk atau Al Malik yang berarti Tanah
Raja-Raja. mengingat pada masa itu banyaknya kerajaan
Sebab Perang
Pattimura (Perang Maluku)
Pada tahun 1816 pihak Inggris menyerahkan kekuasaannya
kepada pihak Belanda dan kemudian Belanda menetrapkan kebijakan politik
monopoli, pajak atas tanah (landrente), pemindahan penduduk serta pelayaran
Hongi (Hongi Tochten).
Belanda juga mengabaikan Traktat London I antara lain
dalam pasal 11 memuat ketentuan bahwa Residen Inggris di Ambon harus
merundingkan dahulu pemindahan koprs Ambon dengan Gubenur.
Dan dalam perjanjian tersebut juga dicantumkan dengan
jelas bahwa jika pemerintahan Inggris berakhir di Maluku. Maka para
serdadu-serdadu Ambon harus dibebaskan dalam artian berhak untuk memilih untuk
memasuki dinas militer pemerintah baru atau keluar dari dinas militer.
Akan tetapi dalam pratiknya pemindahan dinas militer
ini dipaksakan Kedatangan kembali kolonial Belanda pada tahun 1817 mendapat
tantangan keras dari rakyat. Hal ini disebabkan karena kondisi politik, ekonomi,
dan hubungan kemasyarakatan yang buruk selama dua abad.
Pecahnya Perang
Pattimura (Perang Maluku)
Dalam biografi kapitan pattimura diketahui bahwa
rakyat Maluku akhirnya bangkit mengangkat senjata di bawah pimpinan Kapitan
Pattimura Maka pada waktu pecah perang melawan penjajah Belanda tahun 1817
Raja-raja Patih, Para Kapitan, Tua-tua Adat dan rakyat
mengangkatnya sebagai pemimpin dan panglima perang karena berpengalaman dan
memiliki sifat-sfat kesatria (kabaressi). Sebagai panglima perang, Kapitan
Pattimura mengatur strategi perang bersama pembantunya.
Sebagai pemimpin dia berhasil mengkoordinir Raja-raja
Patih dalam melaksanakan kegiatan pemerintahan, memimpin rakyat, mengatur
pendidikan, menyediakan pangan dan membangun benteng-benteng pertahanan. Kewibawaannya
dalam kepemimpinan diakui luas oleh para Raja Patih maupun rakyat biasa.
Dalam perjuangan menentang Belanda ia juga menggalang
persatuan dengan kerajaan Ternate dan Tidore, raja-raja di Bali, Sulawesi dan
Jawa.
Perang Pattimura yang berskala nasional itu dihadapi
Belanda dengan kekuatan militer yang besar dan kuat dengan mengirimkan sendiri
Laksamana Buykes, salah seorang Komisaris Jenderal untuk menghadapi Patimura.
Pertempuran-pertempuran yang hebat melawan angkatan
perang Belanda di darat dan di laut dikoordinir Kapitan Pattimura yang dibantu
oleh para penglimanya antara lain Melchior Kesaulya, Anthoni Rebhok, Philip
Latumahina dan Ulupaha.
Pertempuran yang menghancurkan pasukan Belanda
tercatat seperti perebutan benteng Belanda Duurstede, pertempuran di pantai
Waisisil dan jasirah Hatawano, Ouw- Ullath, Jasirah Hitu di Pulau Ambon dan
Seram Selatan.
Pattimura
Tertangkap
Perang Pattimura hanya dapat dihentikan dengan politik
adu domba, tipu muslihat dan bumi hangus oleh Belanda. Pattimura bersama para
tokoh pejuang lain yang bersamanya akhirnya dapat ditangkap.
Dalam biografi kapitan Pattimura diketahui bahwa
Pattimura ditangkap oleh pemerintah Kolonial Belanda di sebuah Rumah di daerah
Siri Sori. Pattimura kemudian diadili di Pengadilan Kolonial Belanda dengan
tuduhan melawan pemerintah Belanda.
Dihukum Gantung
Pattimura kemudian dijatuhi hukuman gantung, sebelum
eksekusinya di tiang gantungan, Belanda ternyata terus membujuk Pattimura agar
dapat bekerja sama dengan pemerintah kolonial Belanda, namun Pattimura
menolaknya.
Pattimura kemudian mengakhiri pengabdiannya di tiang
gantungan pada tanggal 16 Desember 1817 di depan Benteng Victoria di kota
Ambon.
Untuk jasa dan pengorbanannya itu, Kapitan Pattimura
dikukuhkan sebagai “Pahlawan Perjuangan Kemerdekaan” oleh pemerintah Republik
Indonesia.
Perdebatan Nama
Asli Kapitan Pattimura
Banyak yang mengatakan bahwa Pattimura sebenarnya
bernama Ahmad Lussy yang beragama Islam, tetapi banyak juga yang meyakini
bahwa Pattimura lebih dikenal dengan Thomas Mattulessy yang identik Kristen.
Inilah yang menjadikan perdebatan sampai sekarang ini.
Untuk meluruskan hal tersebut memang perlu dilakukan
penelusuran sejarah tentang asal usul Pattimura dengan data-data pendukung
berupa penelitian yang berasal dari sumber-sumber yang sifatnya otentik serta
faktual.
Lukisan Wajah
Asli Pattimura
Sosok diatas merupakan lukisan dari wajah Kapitan
Pattimura ketika ia ditangkap oleh Belanda pada tahun 1817. Lukisan tersebut
dibuat oleh Verheul yang merupakan seorang perwira dan penulis asal Belanda.
Lukisan tersebut ditemukan di KITLV di Leiden,
Belanda. Untuk mengetahui lebih jelasnya, pembaca dapat membaca buku yang
berjudul ‘Ini Dia Aslinya Kapitan Pattimura‘ yang ditulis oleh Luthfi
Pattimura dan Kisman Latumakulita sebagai sumber referensi pembaca sekalian.
Potret wajah Pattimura yang biasa dilihat pada pecahan
Uang Seribu konon dibuat setelah kemerdekaan. Sebenarnya tidak ada yang
mengetahui wajah asli dari Pattimura sebab sangat sedikit sekali dokumentasi
mengenai hal tersebut.
Lukisan Pattimura yang biasa kita lihat mungkin hanya
rekaan berdasarkan imajinasi oleh pelukis sesuai dengan karakter atau tipe
orang Maluku.
Pattimura pernah berkata :
…Saya katakan kepada kamu sekalian (bahwa) saya adalah
beringin besar dan setiap beringin besar akan tumbang tapi beringin lain
akan menggantinya (demikian pula) saya katakan kepada kamu sekalian
(bahwa) saya adalah batu besar dan setiap batu besar akan terguling tapi
batu lain akan menggantinya.
Ucapan-ucapan puitis yang penuh tamsil itu diucapkan
oleh Pattimura, pahlawan dari Maluku yang juga merupakan pahlawan nasional.
Saat itu, 16 Desember 1817, tali hukuman gantung telah
terlilit di lehernya. Dari ucapan-ucapannya, tampak bahwa Pattimura seorang
patriot yang berjiwa besar. Dia tidak takut ancaman maut.
Wataknya teguh, memiliki kepribadian dan harga diri di
hadapan musuh. Kapitan Pattimura juga tampak optimis. Namun keberanian dan
patriotisme Pattimura itu terdistorsi oleh penulisan sejarah versi pemerintah.
M Sapija, sejarawan yang pertama kali menulis buku
tentang Pattimura, mengartikan ucapan di ujung maut itu dengan :
Pattimura-Pattimura tua boleh dihancurkan, tetapi
kelak Pattimura-Pattimura
muda akan bangkit”
muda akan bangkit”
Namun menurut M Nour Tawainella, juga seorang
sejarawan, penafsiran Sapija itu tidak pas karena warna tata bahasa
Indonesianya terlalu modern dan berbeda dengan konteks budaya zaman itu. Di
bagian lain, Sapija menafsirkan,
Selamat tinggal saudara-saudara”, atau “Selamat
tinggal tuang-tuang”
Inipun disanggah Tawainella. Sebab, ucapan seperti itu
bukanlah tipikal Pattimura yang patriotik dan optimis. Puncak kontroversi
tentang siapa Pattimura adalah penyebutan Ahmad Lussy dengan nama Thomas Mattulessy,
dari nama seorang Muslim menjadi seorang Kristen. Dan Inilah yang menjadi
perdebatan sejarah hingga sekarang ini.
Silsilah
Pattimura
Mengenai Silsilah Pattimura, Pada tahun 1960an
pemerintah Indonesia mengirim tim ke maluku, tim ini terdiri dari Kapten
Siahainenia bersama dengan Kapten TNI Ma’wa.
Mereka dari dari Kodam XV/Pattimura pergi ke Saparua
dalam misi menggali sejarah Pattimura. Tim ini menyurati Subuh Patty Ayau
seorang (Raja) Negeri Latu, desa yang bertetangga dengan Desa Hualoy.
Mereka memintanya untuk membawa data atau informasi
mengenai Kapitan Pattimura, setelah didapat banyak petunjuk dari warga Saparua.
Kemudian lima orang diutus sebagai perwakilan Raja
Latu yang membawa data dan informasi mengenai sejarah Kapitan Pattimura kepada
dua perwira TNI.
Tanggal 20 Mei 1960 Kapten Infantri F.L. Siahainenia
dan Wattimena menandatangani sebuah daftar silsilah dari Itawaka tentang Thomas
Matulessy oyang berjudul Turun Temurun Kapitan Matulessy.
Silsilah ini baru ditandatangani oleh wakil pemerintah
negeri Itawaka bernama A. Syaranamual, pada 26 Mei 1967. Yang pada akhirnya
kemudian silsilah tersebut disahkan di Jakarta dan ditandatangani oleh Frans
Hitipeuw atas nama Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Ditjenbud,
Depdikbud.
Daftar silsilah inilah yang menjadi rujukan mengenai
sejarah Kapitan Pattimura menurut versi pemerintah. Di tanggal 28 Mei 1967,
F.D. Manuhutu mengatasnamakan Ketua Saniri Negeri Haria, ia menandatangani
sebuah daftar silsilah Thomas Matulessy berjudul Silsilah Pattimura.
Silsilah ini berbeda di nama ayah Thomas Matulessy.
Versi Itawaka menyebut nama ayah Thomas dengan Frans Matulessy, sedangkan versi
Haria menyebut nama ayah Thomas dengan Frans Pattimura.
Daftar silsilah Thomas versi Haria ini juga
ditandatangani Frans Hitipeuw atas nama Pemerintah pada 5 Oktober 1987. Jadi
pada hari yang sama, Frans Hitipeuw atas nama Pemerintah mengesahkan dua daftar
silsilah Thomas Matulessy.
Kemudian pada bulan September 1976, ada versi lain
mengenai daftar silsilah Thomas Matulessy yang diberi judul Silsilah Pattimura
versi Ulath. Versi ini disusun oleh I.O. Nanulaita.
Pada tanggal 5-7 Nopember 1993, diadakan sebuah forum
ilmiah seminar tentang sejarah perjuangan Pahlawam Nasional Pattimura di Kodam
XV Pattimura yang dihadiri oleh para ahli sejarah, analis, dan pemerhati
sejarah.
Pertemuan ini diselenggarakan oleh Kanwil Depdikbud
Provinsi Maluku di Ambon. Namun hingga berakhirnya Seminar, belum bisa
dipastikan siapa tokoh Kapitan Pattimura yang sesungguhnya (Suara Maluku edisi
8 November 1993).
Catatan Sejarah Yang Memuat Mengenai Kepahlawanan
Pattimura :
- “Verhuel Herinneringen van een reis naar Oost Indien” (1835-1836),
- J.B. Van Doren (1857), “Thomas Matulesia, Het Hoofd Der Opstandelingen Van Het Eiland Honimoa”,
- P.H. van der Kemp (1911), “Het herstel van het Nederlandsche gezag in de Molukken in 1817″,
- M. Sapija (1954), Sejarah Perjuangan Pattimura”, Penerbit Djambatan,
- Ben van Kaam (1977), “Ambon door de eeuwen”,
- M. Nour Tawainella (2012), “Menggali sejarah dan kearifan lokal Maluku”
- Mansyur Suryanegara (2009). “Api Sejarah”
No comments:
Post a Comment