🔻🔻🔻🔻🔻🔻🔻🔻🔻🔻🔻🔻🔻
http://keistaru.com/2FmB
Masa
Penjajahan Jepang di Indonesia
Masa pendudukan Jepang merupakan periode yang penting dalam sejarah bangsa
Indonesia. Pendudukan Jepang di Indonesia ditujukan untuk mewujudkan
Persemakmuran Bersama Asia Timur Raya. Untuk mewujudkan cita-cita itu, Jepang
menyerbu pangkalan Angkatan Laut di Pearl Harbour, Hawai. Peristiwa itu terjadi
pada tanggal 7 Desember 1941. Gerakan invasi militer Jepang cepat merambah ke
kawasan Asia Tenggara. Pada bulan Januari-Februari 1942, Jepang menduduki
Filipina, Tarakan (Kalimantan Timur), Balikpapan, Pontianak, dan Samarinda.
Pada bulan Februari 1942 Jepang berhasil menguasai Palembang. Untuk menghadapi
Jepang, Sekutu membentuk Komando gabungan. Komando itu bernama ABDACOM
(American British Dutch Australian Command). ABDACOM dipimpin oleh Jenderal Sir
Archibald Wavell dan berpusat di Bandung. Pada tanggal 1 Maret 1942 Jepang
berhasil mendarat di Jawa yaitu Teluk Banten, di Eretan (Jawa Barat), dan di
Kragan (Jawa Timur). Pada tanggal 5 Maret 1942 kota Batavia jatuh ke tangan
Jepang. Akhirnya pada tanggal 8 Maret 1942 Belanda secara resmi menyerah kepada
Jepang.
Upacara penyerahan kekuasaan dilakukan pada tanggal 8 Maret 1942 di
Kalijati, Subang, Jawa Barat. Dalam upacara tersebut Sekutu diwakili oleh
Gubernur Jenderal Tjarda van Starkenborgh dan Jenderal Ter Poorten, sedang
Jepang diwakili oleh Jenderal Hitoshi Imamura. Dengan penyerahan itu secara
otomatis Indonesia mulai dijajah oleh Jepang.Kebijakan Jepang terhadap rakyat
Indonesia pada prinsipnya diprioritaskan pada dua hal, yaitu:
1. Menghapus pengaruh-pengaruh Barat di kalangan rakyat Indonesia, dan
2. Memobilisasi rakyat Indonesia demi kemenangan Jepang dalam Perang Asia Timur Raya.
1. Menghapus pengaruh-pengaruh Barat di kalangan rakyat Indonesia, dan
2. Memobilisasi rakyat Indonesia demi kemenangan Jepang dalam Perang Asia Timur Raya.
A. INTERAKSI
BANGSA INDONESIA DENGAN JEPANG PADA MASA KOLONIAL BELANDA
Jauh hari,
sebelum berlangsungnya Perang Dunia II, telah terjadi hubungan antara
tokoh-tokoh nasionalis Indonesia dengan pihak Jepang, antara lain Gatot
Mangkupraja dan Moh. Hatta. Sesudah kunjungannya ke Jepang
pada akhir tahun 1933, Gatot Mangkupraja berkeyakinan bahwa Jepang dengan
gerakan Pan-Asia mendukung pergerakkan nasional Indonesia.
Moh. Hatta
adalah tokoh yang memegang teguh paham nasionalisme. Meskipun beliau secara
tegas menolak imperialism Jepang, tetapi beliau tidak mengecam perjuangan
Jepang dalam melawan ekspansi Negara-negara Barat. Moh. Hatta bersedia bekerja
sama dengan Jepang karena beliau berkeyakinan pada ketulusan Jepang dalam
mendukung kemerdekaan Indonesia.
Faktor lain
yang menyebabkan timbulnya simpati rakyat Indonesia kepada Jepang adalah sikap
keras pemerintah Hindia Belanda menjelang akhir kekuasaannya. Pada tahun 1938,
pemerintah colonial menolak Petisi Sutardjo yang meminta
pemerintahan sendiri bagi bangsa Indonesia dalam lingkungkan kekuasaan Belanda
sesudah 10 tahun. Setahun kemudian, Belanda pun menolak usulan dari Gabungan
Politik Indonesia (GAPI) yang dirumuskan dalam slogan Indonesia
Berparlemen. Penolakan-penolakan tersebut menimbulkan keyakinan kaum
pergerakan nasional Indonesia bahwa pihak Belanda tidak akan memberikan kemerdekaan.
Di lain pihak, Jepang sejak awal sudah mengumandangkan kemerdekaan
bangsa-bangsa Asia, termasuk Indonesia.
B. KEBIJAKAN
PEMERINTAHAN PENDUDUKAN JEPANG
Download File Kliping ini Dalam Bentuk Doc File
🔻🔻🔻🔻🔻🔻🔻🔻🔻🔻🔻🔻🔻
http://keistaru.com/2FmB
Pada 8 Maret
1942, Panglima Angkatan Perang Hindia Belanda Letnan Jenderal H. Ter Poorten menyerah
tanpa syarat kepada pimpinan tentara Jepang Letnan Jenderal Hitoshi
Imamura. Hal itu menandai berakhirnya masa pemerintahan Hindia Belanda di
Indonesia dan digantikan oleh pemerintah pendudukan Jepang.
1. SISTEM POLITIK DAN PEMERINTAHAN
I.) Sistem
Pemerintahan Militer
Berbeda
dengan zaman Hindia Belanda yang hanya terdapat satu pemerintahan sipil, pada
zaman pendudukan Jepang terdapat tiga pemerintahan militer penduudukan sebagai
berikut.
a.)
Pemerintahan Militer Angkatan Darat (Tentara Ke-25) untuk Sumatera, dengan
pusatnya di Bukittinggi.
b.)
Pemerintahan Militer Angkatan Darat (Tentara Ke-16) untuk Jawa dan Madura,
dengan pusatnya di Jakarta.
c.)
Pemerintahan Militer Angkatan Laut (Armada Selatan Ke-2) untuk Sulawesi,
Kalimantan, dan Maluku, dengan pusatnya di Makassar.
Panglima
Tentara Ke-16 di Pulau Jawa ialah Letnan Jenderal Hitoshi Imamura. Kepala
Stafnya ialah Mayor Jenderal Seizaburo Okasaki. Mereka mendapat tugas membentuk
suatu pemerintahan militer di Jawa dan kemudian diangkat sebagai Gunseikan (kepala
pemerintahan militer). Staf pemerintahan militer pusat disebut Gunseikanbu,
yang terdiri dari atas 5 macam departemen (bu), yaitu sebagai berikut.
a.)
Departemen Urusan Umum (Sumobu),
b.)
Departemen Keuangan (Zaimubu),
c.)
Departemen Perusahaan, Industri, dan Kerajinan Tangan (Sangyobu),
d.)
Departemen Lalu Lintas (Kotsubu),
e.)
Departemen Kehakiman (Shihobu).
Pada bulan
Agustus 1942, pemerintahan militer Jepang meningkatkan penataan pemerintahan.
Hal ini tampak dengan dikeluarkannya Undang-Undang No. 27 tentang aturan
pemerintahan daerah dan Undang-Undang No. 28 tentang aturan pemerintahan syú dan tókubetsu
syi. Kedua undang-undang tersebut menunjukkan dimulainya pemerintahan sipil
Jepang di Pulau Jawa.
Menurut
Undang-Undang No. 27, seluruh Pulau Jawa dan Madura, kecuali kõci (daerah
istimewa) Surakarta dan Yogyakarta, dibagi atas tingkatan berikut.
a.)
Karesidenan (syú) dipimpin oleh seorang syucõ.
b.)
Kotapraja (syi) dipimpin oleh seorang syicõ.
c.)
Kabupaten (ken) dipimpin oleh seorang kencõ.
d.)
Kawedanan atau Distrik (gun) dipimpin oleh seorang guncõ.
e.)
Kecamatan (son) dipimpin oleh seorang soncõ.
f.)
Kelurahan atau Desa (ku) dipimpin oleh seorang kucõ.
Meningkatnya
Perang Pasifik semakin melemahkan Angkatan Perang Jepang. Guna menahanan
serangan Sekutu yang semakin hebat, Jepang mengubah sikapnya terhadap
negeri-negeri jajahannya. Di depan Sidang Istimewa ke-82 Parlemen di Tokyo pada
tanggal 16 Juni 1943, Perdana Menteri Hideki Tojo mengeluarkan kebijakan memberikan
kesempatan kepada orang Indonesia untuk turut mengambil bagian dalam
pemerintahan negara. Selanjutnya pada tanggal 1 Agustus 1943 dikeluarkan
pengumuman Saikō Shikikan (Panglima Tertinggi) tentang
garis-garis besar rencana mengikutsertakan orang-orang Indonesia dalam
pemerintahan.
Pengikutsertaan
bangsa Indonesia dimulai dengan pengangkatan Prof. Dr. Husein Djajadiningrat
sebagai Kepala Departemen Urusan Agama pada tanggal 1 Oktober 1943. Kemudian
pada tanggal 10 November 1943, Mas Sutardjo Kartohadikusumo dan R.M.T.A Suryo
masing-masing diangkat menjadi syúcokan di Jakarta dan
Bojonegoro. Pengangkatan tujuh penasihat (sanyō) bangsa Indonesia
dilakukan pada pertengahan bulan September 1943, yaitu sebagai berikut.
a.) Ir.
Soekarno untuk Departemen Urusan Umum (Somubu).
b.) Mr.
Suwandi dan dr. Abdul Rasyid untuk Biro Pendidikan dan Kebudayaan dan
Departemen Dalam Negeri (Naimubu-bunkyōku).
c.) Prof.
Dr. Mr. Supomo untuk Departemen Kehakiman (Shihōbu).
d.) Mochtar
bin Prabu Mangkunegoro untuk Departemen Lalu Lintas (Kotsubu).
e.) Mr. Muh
Yamin untuk Departemen Propaganda (Sendenbu).
f.) Prawoto
Sumodilogo untuk Departemen Perekonomian (Sangyobu).
Pemerintah
pendudukan Jepang kemudian membentuk Badan Pertimbangan Pusat (Cuo Sangi In).
Badan hal ini bertugas mengajukan usulan kepada pemerintah serta menjawab
pertanyaan pemerintah mengenai masalah-masalah politik dan memberi saran
tindakan-tindakan yang perlu dilakukan oleh pemerintah militer Jepang di
Indonesia.
II.)
Pembentukan Organisasi-Organisasi Semi Militer
Guna
memperkuat barisan pertahanan dan membantu kekuatan militer, Jepang
mengeluarkan kebijakan untuk membentuk organisasi-organisasi semi militer yang
mengikutsertakan rakyat Indonesia, antara lain sebagai berikut.
a. Seinendan
Pada tanggal
29 April 1943, tepat pada hari ulang tahun Kaisar Jepang Hirohito, diumumkan
secara resmi pembentukan dua organisasi pemuda, yaitu seinendan dan keibodan.
Keanggotaan seinendan terbuka bagi pemuda-pemuda Asia yang
berusia antara 15-25 tahun, yang kemudian diubah menjadi batasan usia 14-22
tahun, karena suatu kebutuhan yang mendesak. Tujuan didirikannya Seinendan
adalah untuk mendidik dan melatih para pemuda agar dapat menjaga dan
mempertahankan tanah airnya dengan menggunakan tangan dan kekuatannya sendiri.
Tetapi, maksud terselubung diadakannya pendidikan dan pelatihannya ini adalah
guna mempersiapkan pasukan cadangan untuk kepentingan Jepang di Perang Asia
Timur Raya.
b. Keibodan
Keibodan merupakan barisan pembantu
polisi Jepang dengan tugas-tugas kepolisian, seperti penjagaan lalu lintas dan
pengaman di desa-desa. Anggotanya ialah pemuda-pemuda yang berusia antara 20-35
tahun, yang kemudian diubah menjadi antara 26-35 tahun. Untuk kalangan etnis
Cina juga dibentuk semacam Keibodan, yang disebut Kakyo Keibotai.
c. Heiho
Pada bulan
April 1943 dikeluarkan pengumuman mengenai pembukaan kesempatan kepada para
pemuda Indonesia untuk menjadi pembantu prajurit Jepang (Heiho). Pemuda
yang ingin menjadi anggota Heiho harus memenuhi syarat-syarat
kecakapan umum, seperti berbadan sehat, berkelakuan baik, berumur antara 18-25
tahun, dan berpendidikan serendah-rendahnya adalah Sekolah Rakyat (Sekolah
Dasar).
d. Pembela
Tanah Air (PETA)
PETA
dibentuk atas prakarsa Gatot Mangkupraja dan disahkan
melalui Osamu Seirei No. 44 tanggal 3 Oktober 1943. Berbeda
dengan Heiho, PETA mengenal lima macam tingkat kepangkata, sebagai
berikut ini.
*Komandan
Batalion (Daidanco), dipilih dari kalangan tokoh-tokoh masyarakat,
seperti pegawai pemerintah, pemimpin agama, pamong praja, politikus, dan
penegak hokum.
*Komandan
Kompi (Cudanco), dipilih dari kalangan yang telah bekerja, tetapi belum
mencapai pangkat yang tinggi, seperti guru sekolah dan juru tulis.
*Komandan
Peleton (Shodanco), dipilih dari kalangan pelajar-pelajar sekolah lanjutan
tingkat pertama atau sekolah lanjutan tingkat atas.
*Komandan
Regu (Budanco) dan Komandan Pasukan Sukarela (Giyuhei), dipilih
dari kalangan pemuda dari tingkatan Sekolah Dasar.
Dalam
perkembangannya, ternyata banyak sekali anggota PETA di beberapa daidan (battalion)
yang merasa kecewa terhadap pemerintah pendudukan Jepang. Kekecewaan tersebut
menimbulkan pemberontakan. Pemberontakan PETA di Blitar pada tanggal 14
Februari 1945 yang dipimpin oleh Supriyadi dan Muradi.
e. Fujinkai
Download File Kliping ini Dalam Bentuk Doc File
🔻🔻🔻🔻🔻🔻🔻🔻🔻🔻🔻🔻🔻
http://keistaru.com/2FmB
Selain pemuda,
juga dilakukan pembentukan organisasi kaum wanita. Pada bulan Agustus 1943,
dibentuklah Fujinkai (Himpunan Wanita) yang usianya minimal
adalah 15 tahun. Organisasi ini bertugas untuk mengerahkan tenaga perempuan
turut serta dalam memperkuat pertahanan dengan cara mengumpulkan dana wajib.
Dana wajib dapat berupa perhiasan, bahan makanan, hewan ternak ataupun
keperluan-keperluan lainnya yang digunakan untuk perang.
2. KEBIJAKAN
SOSIAL DAN EKONOMI
Dalam rangka
“menjepangkan” bangsa Indonesia, Jepang melakukan beberapa peraturan. Dalam
Undang-Undang No. 4 ditetapkan hanya bendera Jepang, Hinomaru, yang
boleh dipasang pada hari-hari besar dan hanya lagu kebangsaan Kimigayo yang
boleh diperdengarkan. Sejak tanggal 1 April 1942 ditetapkan harus menggunakan
waktu (jam) Jepang. Perbedaan waktu antara Tokyo dan Jawa adalah 90 menit.
Kemudian mulai tanggal 29 April 1942 ditetapkan bahwa kalender Jepang yang
bernama Sumera. Tahun 1942 kalender Masehi, sama dengan tahun
2602 Sumera. Demikian juga setiap tahun rakyat Indonesia diwajibkan
untuk merayakan hari raya Tancōsetsu, yaitu hari lahirnya Kaisar
Hirohito.
Dalam
situasi perang, Jepang berkepentingan untuk membangun berbagai sarana, seperti
kubu-kubu pertahanan, benteng, jalan-jalan, dan lapangan udara. Untuk itu,
perlu tenaga kasar yang disebut romusha.
Bentuk kerja paksa seperti halnya pada masa pemerintahan Hindia
Belanda (Kerja Rodi) juga terjadi pada masa pendudukan bala tentara
Jepang, yang disebut dengan Romusha. Para tenaga kerja paksa ini dipaksa sebagai
tenaga pengangkut bahan tambang (batu bara) , pembuatan rel kereta api serta
mengangkut hasil hasil perkebunan.Tidak terhitung berapa ratus ribu bahkan
jutaan rakyat Indonesia yang menjadi korban romusha. Untuk menarik simpati
bangsa Indonesia terhadap Romusha, Jepang menyebut romusha sebagai “Pahlawan
Pekerja/Prajurit Ekonomi”.
Para romusha
diperlakukan dengan sangat buruk. Mulai dari pagi buta hingga petang, mereka
dipaksa untuk melakukan pekerjaan kasar tanpa makanan dan perawatan. Oleh
karena itu, kondisi fisiknya menjadi sangat lemah sehingga banyak yang
menderita berbagai jenis penyakit, bahkan meninggal dunia di tempat kerjanya.
Belum lagi siksaan bagi yang melawan mandor-mandor Jepang, seperti cambukan,
pukulan-pukulan, dan bahkan tidak segan-segan tentara Jepang menembak para
pembangkang tersebut.’
Untuk
mendukung kekuatan dan kebutuhan perangnya, pemerintah Jepang mengambil
beberapa kebijakan ekonomi, antara lain.
I.)
Pengambilan Aset-Aset Pemerintah Hindia Belanda
Aset-aset
yang ditinggalkan oleh pemerintah colonial Belanda disita dan menjadi milik
pemerintah pendudukan Jepang, seperti perkebunan, bank-bank, pabrik-pabrik,
pertambangan, sarana telekomunikasi, dan perusahaan transportasi.
II.) Kontrol
terhadap Perkebunan dan Pertanian Rakyat
Tidak semua
tanaman perkebunan dan pertanian sesuai dengan kepentingan perang. Hanya
beberapa tanaman saja yang mendapat perhatian pemerintah pendudukan Jepang,
seperti karet dan kina, serta Jarak. Kopi, teh, dan tembakau hanya
dikategorikan sebagai tanaman kenikmatan dan kurang berguna bagi keperluan
perang sehingga perkebunan ketiga tanaman tersebut banyak digantikan dengan
tanaman penghasil bahan makanan dan tanaman jarak yang berguna sebagai pelumas
mesin pesawat tentara Jepang.
III.)
Kebijakan Moneter dan Perdagangan
Pemerintah
pendudukan Jepang menetapkan bahwa mata uang yang berlaku, tetap menggunakan
gulden atau rupiah Hindia Belanda. Tujuannya adalah agar harga barang-barang
tetap dapat dipertahankan seperti sebelum terjadinya perang.
Perdagangan
pada umumnya lumpuh dikarenakan menipisnya persediaan barang-barang di pasaran.
Barang-barang yang dibutuhkan oleh rakyat didistribusikan melalui penyalur yang
ditunjuk agar dapat dilakukan pengendalian harga.
IV.) Sistem
Ekonomi Perang
Dalam situasi
perang, setiap daerah harus menetapkan sistem ekonomi autarki,
yaitu sistem ekonomi yang mengharuskan setiap daerah berupaya memenuhi
kebutuhan pokoknya sendiri, tanpa mengandalkan bantuan dari daerah lain. Setiap
daerah autarki mempunyai tugas pokok memenuhi kebutuhan pokok sendiri untuk
tetap bertahan dan mengusahakan memproduksi barang-barang untuk keperluan
perang.
Download File Kliping ini Dalam Bentuk Doc File
🔻🔻🔻🔻🔻🔻🔻🔻🔻🔻🔻🔻🔻
http://keistaru.com/2FmB
No comments:
Post a Comment